Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suami dan Anak yang Menjadi Ibu

6 Juli 2020   11:17 Diperbarui: 6 Juli 2020   11:33 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belum lagi ditingkah dengan banyaknya kebutuhan sosial, seperti nyumbang ke jagongan (menghadiri undangan: manten, mbayi, supitan, dll) maupun kegiatan lainnya, misalnya iuran kampung, iuran PKK, iuran, iuran mertidesa, dsb.

Fenomena di atas dialami pada umumnya juga menimpa para suami yang tak mampu mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga suka tak suka harus merelakan isteri atau kaum ibu ini bekerja di luar rumah, di kota bahkan ke luar negeri. Hal ini juga bisa saja terjadi saat suami ditinggal isteri untuk selama-lamanya (meninggal).

Dengan kondisi demikian, ini tantangan sekaligus kebahagiaan yang memasuki masa-masa rawan. Karena dengan bekerjanya isteri ke kota pun ke luar negeri, mau tidak mau segala pekerjaan domestik pun menjadi tanggungjawab suami, dan kalaupun mereka sudah punya anak yang cukup besar bisa membantu pekerjaan rumah, tapi ketika anak-anak masih kecil. Maka, soal susu, uang jajan, beli buku, bayar sumbangan pendidikan, dll juga seutuhnya menjadi kewajiban suami/bapak yang tinggal di rumah.

Anak Miskin

Kalau uraian di atas lebih menggambarkan bagaimana suami yang harus merela sekujur hidupnya untuk menggantikan peran isteri, tapi kondisi yang tak kalah pedih pun dapat menimpa anak-anak kita yang harus bekerja mencari uang, nafkah untuk menghidupi kebutuhann keluarga, atau bagi adik maupun kakaknya.

Misalnya, nasib anak yang ditinggal ayah ibunya yang merantau di Jakarta, atau anak yang ditinggal meninggal ibu atau ayahnya dan lebih parah lagi kalau keluarga besar mereka kebetulan bernasib sama, yakni sama-sama miskin.

Di sinilah anak-anak kadang harus berperan sebagai ayah bagi adiknya untuk menasehati atau berperan sebagai ibu yang harus menghibur adik-adiknya saat mereka sedang susah, dan sebagainya.

Ketika anak berperan sebagai ibu, jelas beban anak lebih berat dari anak pada umumnya. Anak-anak demikian tentu bakal kehilangan masa-masa manisnya, seperti bermain, manja dan minta segala kebutuhan kepada orangtuanya.

Keadaan yang memaksa anak-anak ini harus membanting tulang, bahkan tak jarang anak-anak ini harus bekerja di pabrik-pabrik dengan gaji sangat rendah dan terlampau rentan terhadap kekerasan dan situasi yang membahayakan karena rawan pelecehan seksual, narkoba, kriminalitas dan hiruk pikuk ekonomi underground lainnya. Boro-boro anak-anak ini memikirkan sekolah atau pendidikannya, untuk makan barang sekali sehari saja sudah lebih dari cukup.

Anak-anak yang dipangkas masa-masa indahnya ini memang jauh berbeda dengan anak-anak dari orangtua atau keluarga mapan bahkan kaya secara material, mereka tak jarang justu menjadi target pasar maupun bintang iklan, yang tentu sekali "laku" bisa untuk investasi masa depannya.

Sayangnya, anak-anak miskin ini hanya bisa memunguti nasib masa depannya. Mau dibawa kemana anak-anak kita sebagai aset bangsa, mari peduli dan empati pada mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun