Nilai Tukar Petani (NTP) Jawa Tengah, pada medio Mei 2020 sebesar 101,11 atau  naik 0,60 persen dibanding NTP bulan sebelumnya sebesar 100,51. Potret Petani di Jawa Tengah, digambarkan dengan 90% petani atau 1,383 juta petani yang memiliki lahan rata-rata 0,25 Ha.
Pendapatannya yang tergolong masih rendah dan ketidakpastian usaha yang dirasakan, berdampak pada masalah keuangan dalam keluarganya, seperti saat gagal panen, maka masalah keuangan yang dihadapi petani pun akan semakin bertambah.
Padahal, berbagai program pembiayaan pertanian terus diberikan oleh pemerintah maupun lembaga keuangan di Indonesia namun kurang diikuti dengan upaya meningkatkan tingkat pemahaman masyarakat sasarannya.
Petani terus didorong lebih kreatif meningkatkan nilai jual produk pertaniannya. Salah satunya dengan mengolah produk agar memiliki harga jual tinggi di pasaran. Ketahanan pangan provinsi ini cukup baik, dan sebagai salah satu penyangga pangan nasional.
Taka da salahnya jika produktivitas pangan tersebut kita arahkan adanya korporasi petani, merupakan kesatuan petani yang memiliki produk unggulan sejenis yang nantinya dikumpulkan dalam jumlah besar dan dikirim ke daerah lain.
Berkonsep entrepreneurship atau kewirausahaan dan berada di setiap kabupaten/ kota. Petani diarahkan untuk tidak berkutat pada on farm saja, namun bisa melakukan pengolahan hingga pemasaran (off farm). Sehingga produk pertanian yang mereka hasilkan tidak semurah yang sekarang dan mereka bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019 yang salah satunya berbasis strata wilayah menunjukkan, indeks literasi keuangan di perkotaan mencapai 41,41 persen, dan inklusi keuangan masyarakat perkotaan sebesar 83,60 persen. Sementara indeks literasi dan inklusi keuangan masyarakat perdesaan ada di angka 34,53 persen dan 68,49 persen.
Dari hasil survei tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah perdesaan cenderung memiliki kesadaran yang lebih rendah terhadap produk dan layanan jasa keuangan formal.
Padahal, bergulirnya Revolusi Industri 4.0 menghadapkan pembangunan pertanian pada tantangan yang revolusioner. Di era ini, teknologi telah menjadi sebuah keniscayaan dan merupakan hal yang mempermudah seluruh aspek kehidupan manusia.
Perkembangan inovasi teknologi telah melesat lebih jauh, seperti Artificial Intelligence, Internet of Things, nanotechnology, dan 3D printing yang membawa manusia kepada teknologi yang termutakhirkan. Dalam perjalanannya, revolusi ini diperkirakan akan lebih mempergunakan mesin canggih sebagai tulang punggung produksi termasuk bergulirnya e-commerce sebagai aktivitas sehari-harinya.
Dengan masifnya perkembangan e-commerce saat ini telah dimanfaatkan masyarakat pada berbagai sektor, tak terkecuali sektor agraria dan secara spesifik di bidang pertanian. Menurut BPS (2020), tingkat pengangguran di desa pada angka 3,55 persen atau naik dari sebelumnya, yakni 3,45 Â persen. Kenaikan tingkat pengangguran di desa meningkat lantaran jumlah pekerja sektor pertanian yang juga menyusut sebesar 0,42 persen.
Upah nominal harian buruh tani nasional pada Mei 2020 naik sebesar 0,14 persen dibanding upah buruh tani April 2020, yaitu dari Rp 55.318,00 menjadi Rp 55.396,00 per hari. Sementara itu, upah riil buruh tani mengalami kenaikan sebesar 0,21 persen.
Sampai hari ini bertani atau menjadi petani belum menjadi favorit kaum muda. Dan, sektor satu ini lebih didominasi lulusan tingkat pendidikan rendah atau SD. Dengan kata lain, semakin tinggi pendidikan seseoroang kian enggan mereka menerjunkan diri pada profesi petani.Â
Maka, kiranya diperlukan perubahan paradigma agar stigma profesi petani berubah menjadi baik dan modern khususnya di mata generasi muda. Salah satu pendekatannya yaitu melalui pendekatan pendidikan dan kebudayaan.Â
Selama ini minat generasi muda tidak tertarik dengan usaha pertanian pangan dengan alasan tak menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Selain itu, barangkali terjadi mismatch pendidikan dan pekerjaan.
Kontan.co.id, 12/5/2018 melansir, ketidakcocokan antara pendidikan dan pekerjaan (Mismatch) baik vertikal mismatch maupun horizontal mismatch di sektor pertanian cukup tinggi jika dibandingakan sektor manufaktur dan jasa. Di sektor pertanian memiliki vertical mismatch hingga mencapai 96,86 %.
Terdiri dari di bawah kualifikasi pendidikan 0,12%, sesuai kualifikasi pendidikan 3,04%, di atas kualifikasi pendidikan, 96,74%. Â Sedangkan horizontal mismatch bidang studi yang dibutuhkan untuk bekerja berbeda dengan latar belakang pendidikan pekerjaan, 58,63 %.
Pekerjaan dapat diisi oleh pendidikan bidang studi apa pun 25,62%, bidang pekerjaan yang dibutuhkan sama dengan latar belakang pendidikan pekerjaan 15,75%, sehingga total horizontal mismatch-nya hingga 84,25%.
Gaji Bupati Kalah
Wakil Ketua Lembaga Demografi FEB UI, I Dewa Gede menjelaskan tingginya mismatch yang terjadi di sektor pertanian disebabkan oleh rendahnya minat tenaga baru ingin bekerja di sektor pertanian. Para tenaga baru beranggapan tingkat pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian relative kecil sehingga mereka memilih bekerja di sektor lain. Tenaga kerja muda lulusan bidang pertanian tidak lagi tertarik bekerja di sektor pertanian lagi.
Ketika tenaga kerja muda tadi semakin terdidik, kini mereka sudah tidak tertarik dengan sektor pertanian malah memilih bekerja di sektor lain. Inilah yang menyebabkan mismatch. Status pendidikan di sektor pertanian saat ini diisi oleh pekerja yang berumur tua dan capain pendidikannya masih rendah. Orang-orang yang bekerja di sektor pertanian itu umurnya secara rata-rata relative lebih tua jika di bandingan dengan sektor lain.
Petani yang semula hidup dalam orientasi budaya agraris yang cenderung mendekati ciri-ciri masyarakat tradisional, yang kemudian harus dihadapkan pada pilihan pekerjaan baru di bidang industri, harus mengadopsi perilaku-perilaku baru yang cenderung mendekati ciri-ciri masyarakat modern. Maka, perubahan paradigma pertanian yang tradisional menuju modern harus terus dilakukan.
Namun, kaum muda, milenial mematahkan anggapan-anggapan murung itu, Milenial Sofyan Adi Cahyono petani sayuran organi merbabu yang mampu mendatangkan penghasilan Rp300 juta  perbulan. Angka ini mengalahkan gaji bupati, kata Mentan, Syahrul Yasin Limpo dalam kunjungannya (27/6/2020).
Kita juga punya inovasi "Traktor Setan" yang diciptakan oleh Wakhid Hasim, pemuda asal Desa Tepakyang, Kecamatan Adimulyo, Kabupaten Kebumen yang menciptakan traktor yang dikendalikan dengan remot.
Meski masih berupa prototipe, namun teknologi ini sudah bisa dimanfaatkan oleh petani. Meski digerakkan dengan remote, namun hasil bajakan sama dengan traktor yang dikendalikan dengan cara manual. Bahkan dalam satu hari dengan menggunakan traktor remote itu para petani bisa membajak lahan seluas 500 ubin. Untuk merangkai traktor setan hanya dibutuhkan dana sekira Rp3 juta rupiah kala dua tahun silam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H