Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendesakan Kota, Why Not?

16 Juni 2020   16:39 Diperbarui: 16 Juni 2020   16:51 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Media masa pun mulai melirik kembali dengan rubrikasi basa jawa, begitu juga dengan dunia perfilman tidak malu-malu menjual desa dengan segenap kemenarikannya. Busana, atraksi dan seni pun asesoris dan makanan desa menjadi sesuatu yang diunggulkan oleh sebagaian dunia perhotelan dan wisata kita. Dan, hampir menjadi agenda regular politik lima tahunan, lagi-lagi desa terus diburu dan menjadi lumbung suara.

Mohammad Sobary (Kolomnis-budayawan) memandang bahwa ada hal-hal yang memang harus dipertahankan dari perdesaan (desa) terutama kesahajaan masyarakatnya. Modern bukan berarti harus menjadi egois, meninggalkan sifat-sifat baik ala orang desa, dan membiarkan adat tradisi lokal tegerus kebudayaan lain.

Desa juga banyak menyimpan energi produktif, seperti rintisan teknologi tepat guna, dengan mendayagunakan potensi lokalnya sanggup mematahkan krisis air maupun krisis energi di sebagaian wilayah desa. 

Kincir air sanggup menerangi seantero desa, atau tengoklah pemanfaatan limbah sampah yang diolah menjadi energi listrik di pedesaan Jawa Tengah, dan tidak sedikit torehan emas di punggung-punggung bukit yang terjal dan mampu menerbitkan segumpal harapan dan optimisme baru.

Mematahkan Kenestapaan
Lantas, bagaimana dengan branding kemiskinan yang banyak dialamatkan kepada desa? Apakah potret muram itu akan terbiar, dibiarkan ataukah cukup disimpan sebatas kenangan belaka? Cukupkah? Tentu kita semua tak pernah berharap, berdoa dan bermimpi hidup ditimpa kemiskinan. Nampaknya bukan zamannya, jika kemiskinan nota bene kenestapaan itu terahanyut, terendam dan tenggelam dalam keseharian seluruh warga desa.

Sudah waktunya desa bergegas, bersegera dan cancut taliwanda saiyeg saeka praya, ngupaya rejeki, dan memaknai ora obah ora mamah. Paradigma selama ini yang lebih nampak produk nyadhong dari atas atau bergantung pada kucuran dana pemerintah.

Maka sekarang saat yang tepat untuk mengubah pandangan, pemikiran dan pemahaman itu dengan membalik aksi nyata dengan melibatkan penuh partisipasi masyarakat, yakni "desa membangun," karena secara denotatif desa adalah aktif bukan secara cuma-cuma pasif, gratis. Paradigma desa membangun adalah mendorong peningkatan sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) untuk membangun lokalitas desanya.

Mari singsingkan lengan baju, bersama-sama dalam denyut desa membangun, membuka kesadaran ya pemikiran kita semua menuju masyarakat yang bermartabat, sejahtera dan mandiri. 

Semoga itu semua menjadi fakta di lapangan bukan ilusi, dan mudah-mudahan kita saling membahu hingga menyentuh akar rumput. Memulai hidup di sini, di desa, memberdayakan masyarakat dan desa. Membangun pulau harapan, desa yang menggenggam (hujan) masa depan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun