Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ke Mana Kita, Bebas Untuk atau Bebas Dari?

16 Juni 2020   12:49 Diperbarui: 16 Juni 2020   13:02 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Virus covid-19 alias corona belum juga berlalu, ada kepedihan diantara keluarga yang terjangkit atau tertular, ada sedu sedan mengiringi kepergian jenazah corona, maupun ada yang merengek dibelikan kuota internet buat belajar daring dari rumah, dll. 

Dalam kondisi demikian, rasanya kita perlu memberikan bunga lili rumah-rumah sakit, rumah-rumah isolasi mandiri di rumah-rumah warga maupun tempat-tampat lain yang menangani pencegahan, pengobatan sekaligus penanganan keliaran agresifnya virus corona.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto maupun Reisa tak henti mengungkapkan, jumlah kasus  covid-19, angka sembuh, total meninggal, yang semuanya menyisakan pengap sedih dan atau semangat menyala menjaga mimpi untuk kembali sehat dan beraktifitas normal kembali.

Kita penting untuk saling membantu, gotong royong mendirikan dapur umum maupun membudayakan pagar mangkok, menyemprot desinfektan, menyediakan handsanitizer, membagi masker, menaati protokol kesehatan, disiplin menjaga jarak dan sentuhan fisik, mengisolasi mandiri serta mengedukasi warga menjadi bagian gerakan filantropis dari desa-kota.

Selain itu, kita harus selalu mengedukasi warga untuk selalu berkata, bersikap dan beropini yang baik kepada siapapun, terutama mereka atau keluarga yang terjangkit corona. 

Kini dan ke depan sudah seharusnya tak ada perundungan maupun pengucilan terhadap keluarga dan pasien positif corona. Penolakan, maupun pengambilan paksa juga perebutan jenazah covid di rumah sakit dan penamparan perawat di Semarang semoga tak berulang dan menjadi terakhir di republik ini. Kontingen kebaikan dan atau kesalehan mesti kita bangun setiap waktu.

Pada situas bengalnya covid-19 ini nyaris semua sektor terdampak. Tenaga kerja banyak yang terkena PHK, ekonomi warga masih berasa sulit, pendidikan anak-anak kita terengah-engah meski melalui belajar di rumah, belajar on line. Emosional kita acap gampang sensi dan labil. Dalam kemurungan dan ketidaknyamanan akibat covid ini, kita perlu hadirnya sosok-sosok yang menentramkan, menenangkan dan menggembirakan pada semuanya.

Pada dunia pewayangan kita mengenal Tokoh Semar atau dengan nama lainnya, seperti Ismaya, Bodronoyo atau Nayantaka. Sosok satu ini selalu identik sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria keluarga Pandawa. Dengan jiwa pamomongnya bersama keluarga Pandawa. Keluarga ini yang ditasbihkan sebagai perilaku baik manusia. Peran Semar banyak memberi nasihat, petuah dan saran soal kebaikan dan kebajikan serta selalu dipatuhi para anak asuhnya.

Barangkali, tak cukup bijak jika mengabaikan tokoh Togog yang kesohor sebagai pengasuh dalam suka duka para Kurawa. Pihak yang acap disebut sebagai pihak paling buruk tabiatnya dalam kehidupan apapun. Tak kecil peran Togog di sini. Ia pun sama-sama menyampaikan kesalehan, tapi sangat sulit diterima apalagi sampai tahapan praktik atau implementasinya bagi para muridnya.

Meskipun anak asuhnya bengal dan menolak bahkan menjagal nasihat-nasihatnya yang berkonten nilai baik, tapi jangan sebut Togog jika hanya tersandung kerikil kecil saja sudah menggerutu dan mengumpat apalagi putus asa.

Semar dan Togog tak pernah lelah dan selalu menyorongkan ruh dan spirit kebaikan, diminta atau tidak diminta bahkan bibir atau mulutnya sampai berbusa-busa, membesar atau "ndower," hanya demi dan untuk satu soal kebajikan agar para kesatrianya pun menjadi follower-nya. Jangan sampai kita malah mana-manasi, kompor dan sebagai provokator. Jangan hendak kita menjadi sosok Sengkuni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun