Mohon tunggu...
Marjono Eswe
Marjono Eswe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik Biasa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis Bercahayalah!

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Desa Pintu Strategis Pilkada

12 Juni 2020   15:38 Diperbarui: 12 Juni 2020   15:46 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 270 daerah yang bakal menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang rencana digelar pada 9 Desember 2020, dengan rincian 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan walikota.

Nampaknya, kontestasi pilkada itu para calon kepala daerah (cakada) tak bisa mengabaikan yang namanya desa. Desa cukup strategis dalam laga demokrasi tersebut, desa tetap memiliki daya tarik bagi kompetisi mereka di wilayahnya. Desa sarat dengan isu kemiskinan dengan segala problemanya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan pada September 2019 mencapai 9,22 persen. Angka ini turun 0,19 persen poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44 persen poin terhadap September 2018. Sementara jumlah penduduk miskin pada September 2019 tercatat 24,79 juta orang. Angka tersebut turun 0,36 juta orang terhadap Maret 2019 dan menurun 0,88 juta orang terhadap September 2018. Meskipun secara total kemiskinan turun, tapi masih ada problema tingginya disparitas kemiskinan antara perkotaan dan perdesaan. Persentase kemiskinan di kota pada September 2019 tercatat 6,56 persen, sedangkan persentase kemiskinan di perdesaan mencapai 12,60 persen.

Melihat kondisi di atas, nampaknya potensi kemiskinan masih berada di pedesaan. Tentunya kondisi tersebut memerlukan campur tangan semua pihak, termasuk para cakada untuk memberdayakan, memartabatkan dan memanusiakan kelompok-kelompok miskin dari segenap belitannya.

Potret akar rumput yang demikian merupakan bahan yang memiliki nilai tambah dalam konteks pilkada dengan berbagai program dan kegiatan yang ditawarkan yang tentunya pro-desa dan pro-poor. Hal lain yang membuat desa semakin potensial dalam agenda perhelatan ini adalah adanya budaya gotong-royong. Melalui budaya ini siapa pun cakada yang datang ke desa-desa dengan sikap yang santun, hormat dan ngu-wong-ke (memanusiakan) masyarakat, tidak akan sulit mereka akan bersetia dan konsisten ketika diminta bantuannya untuk meraih cita-citanya bersama pasangan para cakada.

Masyarakat desa juga akan lebih gampang menetapkan pilhannya pada bakal cakada manakala mereka melihat rekam jejak dan keteladannya bagi kehidupan masyarakat itu sendiri. Keteladan yang diproyeksikan tentu yang benilai positif dan mampu mengubah nasibnya, baik secara moral dan gaya hidup di bawah. Hal ini berkait dengan keteguhan para cakada dalam memperjuangkan kebijakan-kebijakannya yang memberikan perhatian serius kepada masyarakat desa. Dan, lagi dalam tataran ini lebih pada tingkat sensitifitas cakada dalam relasi permasalahan kekurangberuntungan masyarakat desa, seperti yang terkena musibah, bencana atau kesulitan hidup lainnya.

Implementasi peran profetik (kenabian) juga akan menjadi salah satu dasar penetapan hatinya jika ia harus memilih salah satu pasangan balon. Sifat kenabian maupun kadar integritas, menyangkut etik dan etos. Dalam sesi sekarang cakada yang anti korupsi, gratifikasi dan pungli layak diperjuangkan. Barangkali cakada ini  tidak akan sulit meraih massa atau suara, jika ia mampu menghadirkan sikap dan perilaku di atas di hadapan masyarakat. Memang, tak ada manusia yang sempurna, namun setidaknya lurus hati, seperti kisah dalam bahasa indonesia zaman sekolah dasar dulu, Amir si Lurus Hati.

Di masyarakat desa begitu mudahnya tersiar dan tersebar di telinga, jika berita atau kabar baik maupun sebaliknya. Oleh karena itu, kesempatan baik bagi pasangan cakada untuk bersiap berkontestasi. Namun tidak bisa disetting sekarang, karena masyarakat akan lebih melihat proses ke belakang. Apakah ia memiliki cacatan putih atau sebaliknya, lebih pada rapor merah.

Catatan merah yang sudah telanjur muncul dan menjadi asumsi publik, tidak dengan mudah dibalik menjadi sesuatu yang bersih, kudus atau bebas (netral) secara instan, karena masyarakat desa lebih suka pada sesuatu yang alamiah, tidak dibuat-buat dan original. Jadi metode gethok tular (mouth to mouth) di pedesaan sangat kuat. Mereka akan menilai, pasangan cakada, jika baik ya tetap baik, atau sebaliknya jika buruk ya tetap dinilai buruk (apik ya apik, elek ya elek). Lebih terbuka dan apa adanya.

Virus Positif

Hal lain yang juga mungkin memudahkan pasangan cakada adalah sikap egalitarian mereka. Misalnya, pasangan salah satu cakada berangkat dari elemen legislatif, maka masyarakat akan melihat seberapa produk yang dihasilkan yang memihak pada kepentingan rakyat atau masyarakat desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun