‘Amaliyah tsaqafiwah’ komunitas pesantren sebagai ranah harmonisasi suara rakyat*
Salah satu cara kerja intelektual orang-orang NU yang merakyat dalam mengawal masyarakat berbeda dengan cara kerja kalangan akademisi yang lebih menekankan pada pergumulan teori-teori ilmu pengetahuan. Pengetahuan mereka adalah pengetahuan praksis (ma’rifah amaliyah) setiap harinya mereka bergumul dengan masyarakat secara terbuka, keilmuannya diabdikan untuk pengembangan masyarakat pedesaan, maka kerja intelektualnya dipakai untuk menerjemahkan pikiran, pandangan dan tindakan-tindakan rakyat ke dalam bahasa Manhaji, ke dalam bahasa paradigma ilmu sosial – tepatnya ke dalam bahasa Fiqh. Dalam bukunya Ahmad Baso Almukarram Kiai Sahal memberikan sebuah pernyataan bahwa masih banyak persoalan yang njlimet dari para pakar ilmuwan yang tidak bisa di jangkau oleh masyrakat kita. Maka disini peran kelimuwan dari kalangan ulama diorientasikan untuk menjadi populis, mengutamakan kepentingan rakyat kecil karena pada dasarnya hal itu yang dibutuhkan masyarakat disamping tidak hanya mendapat pengetahuan, melainkan harmonisasi dalam berinteraksi sosial semakin erat tidak ada batasan dan kecanggungan dalam mengawal dan membangun peradaban. Dan pilihan ini pula yang ditetapkan oleh para kiai, yakni Fiqh sebagai pilihan untuk dijadikan jembatan menuju pengambangan masyarakat.
Kekuatan tradisi ini menjadi akar dalam menghadapi rezim kezaliman dan juga sebagai pembebasan dari dominasi dan eksploitasi kekuatan-kekuatan luar, termasuk juga menjadi ruang kontrol orang-orang NU untuk bersikap kritis terhadap dua kekuatan global yang kini mendera bangsa kita: fundamentalisme dari islam Timur Tengah dan fundamentalisme liberal dari Amerika-Australia, tradisi fiqh ini tidak hanya menjadi sesuatu yang ‘amali, yang diamalkan sehari-hari. Tapi juga manhaji (teoritis-metodologis). Dalam kerangka manhaji inilah, konsep tajdid diramu dan diolah demikian pula basis populisme dan kerakyatannya (basis as-sawadu-l-a’zham) diperkuat sehingga menjadi tradisi kerakyatan.
Apa arti tradisi kerakyatan dalam pandangan nahdliyin...?
sedikit menangkap apa yang telah saya baca, mungkin Orang-orang NU mencoba menghindari dari kebisingan yang pengap dan ramai yang berjejal saat keadaan mulai memanas dalam menyikapi permasalahan dan perdebatan keagamaan, seperti dalam forum bahtsul masail dan sebagainya sehingga silang argumen tidak bisa ditolerir dan menyebabkan perpecahan. Namun apa yang dilakukan oleh orang-orang NU dalam menyikapi hal seperti ini.? Tradisi kerakyatan inilah yang kemudian muncul, dan itu melalui shalawat. Selama kita nyantri shalawat dikenal sebagai obat mujarab dan menjadi penenang rasa takut. Tradisi menjadi sesuatau yang bermakna dalam konteksnya masing-masing dimana ia berdaya guna tinggi dalam situasi tertentu dimana kaum nahdliyin terlibat didalamnya. Inilah arti tradisi bagi kaum nahdliyin. Ia bukanlah sesuatu yang diteorikan atau yang diabstraksikan. Tapi sesuatu yang amali, praktikal.
Arti amali mengandaikan sesuatu yang berbeda dari paham kolonial-modernis yang menyebut tradisi sebagai sesuatu yang jumud dan berasal dari masa lampau. Walau sesungguhnya tradisi adalah sesuatu dari masa lampau tapi tradisi adalah sebuah pergumulan, selalu hadir dan dihadirkan dalam konteks kekinian yang akan senantiasa di-istifadah (didayagunakan dan dimanfaatkan) maka istifadahnya itulah yang amali bagi kalangan Nahdliyin dan pesantren. Cara NU memahami dan mendekati tradisinya itulah yang selalu relevan, dan senantiasa up to date (mu’ashirah) dan kontekstual (musawiqah) artinya adalah tradisi dalam pandangan NU adalah sesuatu yang dinamis (mutathawwir):
“al-Muhafazhah ala-l-qhadimi-sh-shalih wal akhdzu bi-l-jadidi-l-ashlah” (mempertahankan sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H