Mohon tunggu...
Widhyanto Muttaqien
Widhyanto Muttaqien Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemilik Kedai Sinau Jakarta

pemimpi siang bolong cum precariat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sumberdaya Arsip dan Kebutuhan Sejarah

10 Agustus 2011   11:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:55 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam setiap diskusi tentang sejarah selalu ada pengulangan pernyataan: kita sepertinya tidak bisa dan  belum mampu menyaingi peneliti asing untuk secara detil meneliti tentang Indonesia. Pengulangan ini seringkali dijelaskan lebih lanjut, bahwa kita kekurangan sumberdaya arsip sebagai bahan dasar untuk menguak kembali masa lalu. Penjelasan lain yang mungkin lebih menyakitkan adalah arsip kuno Indonesia lebih banyak berada di negara lain, terutama di negara yang pernah berkepentingan menguasai sumberdaya arsip tersebut (di jaman kolonialisme) dan terus mereproduksinya sebagai bentuk-bentuk pengetahuan yang terbarui.

Begitu pentingnya arsip sehingga pengetahuan peneliti asing terhadap Indonesia dianggap oleh orang Indonesia sendiri lebih baik, bahkan lebih lengkap. Ada nuansa inferior dalam hal pencapaian, dan itu terkait dengan kapabilitas (penguasaan metodologi), vitalitas peneliti (idealisme, pembiayaan penelitian)  dan adapula nuansa kepapaan dalam sumberdaya arsip, terutama dalam mengaksesnya. Tulisan ini ingin memperlihatkan bagaimana arsip adalah sebuah sumberdaya bersama, dimana ia menyimpan pengetahuan yang terakumulasi dan terbarui. Dari titik ini kita kemudian bisa melihat bahwa kebutuhan untuk memahami sejarah (sebagai masa lalu, sekarang, dan konstruksi masa depan) dimulai salah satunya dari potensi sumberdaya kearsipan

Dilihat dari asal-usulnya (etimologi) kata arsip berkembang mulai dari bahasa Yunani Kuno Arkheia yang dapat bermakna permulaan, asal, kuno (archaic) terkait dengan masa sebelum sejarah (prehistoric times), kemudian kata arch tersebut berkembang archiva (Latin) archives (Prancis), dan arsip (Indonesia) yang artinya kumpulan dokumen dan catatan  yang memberikan informasi tentang tempat, institusi, kelompok masyarakat.

Dengan demikian arsip adalah bagian dari pengetahuan (knowlegde) seperti yang dinyatakan oleh Davenport dan Prusak (1998) “knowledge derives from information as information derives from data.”[i] Pengetahuan diturunkan dari informasi dan informasi diturunkan dari data (arsip). Jelaslah bahwa pernyataan di awal bahwa sumberdaya arsip sangat penting untuk  me(re)produksi pengetahuan baru.

Arsip Sebagai Sumberdaya Milik Bersama

Saya ingin memperlihatkan bahwa arsip adalah sebuah sumberdaya. Pengertian sumberdaya disini adalah sesuatu yang dapat diakses untuk menambah daya seseorang dalam mengolah dan menyatukan (seperti dalam memasak) sumberdaya lainnya. Secara sederhana seorang petani memiliki beberapa sumberdaya: 1. pengetahuan tentang pertanian, 2. alat produksi pertanian seperti lahan, pupuk, cangkul, bajak dan lain-lain. 3. dirinya sebagai tenaga kerja (fisik), 4. komunitasnya sebagai sumberdaya sosial yang bisa dimanfaatkan untuk menjaga sumberdaya lain, 5. bentang alam seperti sumberdaya tanah dan air sebagai sumberdaya milik bersama (common property resources). Dimanakah letak arsip?

Saya melihat arsip sebagai sumberdaya milik bersama, karena ia telah mengalami proses pengkoleksian dari berbagai sumber dan waktu yang lama. Belum lagi dihitung mengenai perpindahan 'kepemilikan', (sebagai aturan kepemilikan-property regime). Sebagai sumberdaya ekonomi (arsip dianggap sebagai 'barang'-common pool resource) maka penggunaan dan pemanfaatan bersama arsip dimiliki oleh sebuah komunal, semisal, sejarah suku Batak yang tersimpan dalam arsip bilah-bilah bambu, tradisi literer suku ini.  Atau arsip sejarah yang dimiliki negara sebagai 'milik bersama' sebuah komunal bernama Indonesia, sehingga ia juga dapat disebut barang publik (yang disediakan oleh negara).

Sedangkan sebuah rezim kepemilikan adalah ikatan hukum yang dimiliki secara kolaboratif oleh dua pihak atau lebih yang memiliki seperangkat hak-hak pemanfaatan. Saya melihat arsip sebagai sebuah sumberdaya bersama yang lebih dekat pada sumberdaya (ekonomi) milik bersama, seperti contoh arsip bilah-bilah bambu suku Batak. Pendekatan ini akan membawa kita pada pemahaman bahwa permasalahan arsip tidak bisa dilihat secara ketat, seperti siapa otoritas yang paling berhak atas preservasinya, namun harus dilihat sebagai sebuah upaya kolektif untuk menyambung pengetahuan bagi generasi ke depan. Mengapa, menengok kembali pada kasus Koin Sastra, yaitu ketidakpedulian pemerintah (dan masyarakat) atas arsip dan dokumentasi literatur yang ada di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, maka kita terbelalak melihat sebuah kenyataan: bagaimana sebuah tempat yang terletak pusat pemerintahan (baca: kekuasaan) tidak peduli pada salah satu aset terbesar di bidang kearsipan sastra di Indonesia.

Kasus Koin Sastra ini memperlihatkan pertama, kepedulian pemerintah terhadap 'artifak pengetahuan' semacam arsip sangat kurang. Kedua, masyarakat terkejut ketika ternyata berbagai kemudahan yang diberikan oleh PDS HB Jassin membutuhkan modal yang cukup besar untuk preservasinya, hal ini menjelaskan mengapa ada komodifikasi terhadap arsip, sebagai barang ekonomi yang tinggi harganya. Ketiga, Jakarta sebagai teritori tempat domisili 'artifak pengetahuan' ini  ternyata ditembusi batas-batas fisiknya, batas administrasi, terbukti relawan Koin Sastra yang tersebar se-antero Indonesia. PDS HB Jassin sebagai sebuah sumberdaya dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat Indonesia (bahkan internasional). Keempat, pengelola PDS HB Jassin akhirnya membuka dirinya kepada masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam pengelolaannya. Terakhir, pembuktian bahwa arsip telah-menjadi sumberdaya milik bersama adalah dengan adanya Koin Sastra sebagai sebuah aksi kolektif, yang juga membuktikan adanya pengetahuan dan keinginan untuk terlibat dalam permasalahan di sebagian kalangan, terutama pemanfaat arsip itu sendiri. Kepedulian seperti ini jika dipelihara dan dirawat dapat menjadi modal sosial bagi PDS HB Jassin, tentunya ini berimplikasi terhadap perbaikan dalam pengelolaan kearsipan seperti kasus PDS HB Jassin.

Kasus Koin Sastra merupakan salah satu kasus dalam permasalahan kearsipan. Ilmu kearsipan mengenal beberapa tipe dokumentasi, ini jika dilihat dari ilmu informasi yang didalamnya meliputi dokumen dalam wujud korporil-artifak fisik-material (museum), dokumen dalam wujud literair-teks (perpustakaan), dan dokumen privat (kearsipan). PDS HB Jassin menempati tempat yang dominan dalam perpustakaan, walaupun di dalamnya banyak sekali dokumen privat (seperti surat-menyurat pribadi) yang sifatnya unik dan tidak ada di tempat lain (tidak seperti buku yang direproduksi), semisal, surat-surat HB Jassin, surat-surat Iwan Simatupang, dan lain-lain.

Era Digital  Memperluas Pemanfaatan Sumberdaya Arsip

Sebelum adanya arsip digital (digital era) pengetahuan sebagai milik bersama terbatas pada lokasi dan tempat seperti perpustakaan dan gedung arsip. Era digital melipat dunia, permasalahan yang dialami dalam pengarsipan konvensional (walaupun hal ini tetap dibutuhkan, terutama jika berhubungan dengan karakter arsip seperti otentisitas dan unik) seperti kelimpahan arsip, kapasitas fasilitas penyimpanan, batas fisikal untuk mengakses teratasi dengan teknologi digital (sesuai dengan fungsi arsip). Teknologi memudahkan untuk mengapropriasi permasalahan lama dalam bidang kearsipan.

Sebagai sumberdaya bersama arsip, baik dalam pengertian konvensional maupun dalam pengertian digital tetap mengalami dilema. Dilema tersebut antara lain; Ekuitas (sebagai aset) bagaimana aset ini dapat diakses semua orang dan menjaganya, apa kontribusi pemanfaat. Efisiensi berhubungan dengan manajemen dan penggunaan sumberdaya. Keberlanjutan berhubungan dengan hasil dalam jangka panjang (outcome).

Sejarah dunia terutama di Eropa, dihadapkan dengan permasalahan pengkaplingan (enclosure) kekayaan berbasis tanah yang menyebabkan  masyarakat atau komunitas tertentu kehilangan akses. Kapling-kapling ini seperti kepemilikan privat-kepemilikan tanah/ladang pertanian oleh tuan tanah atau negara yang mengeksklusi komunitas setempat. Hasilnya adalah akses tersebut cuma bisa dinikmati oleh orang kaya (the have) atau elit tertentu, seperti pejabat negara, kalangan ningrat. Narasi ini adalah pengkaplingan jilid pertama. Boyle (2003)[ii] melihat ada pengkaplingan jilid kedua, yaitu permasalahan HAKI, termasuk paten, royalti penulis,  dianggap sebagai bagian dari kapling-kapling (enclosure) yang dibangun oleh kaum intelektual. Pengkaplingan jenis ini dikenal sebagai anti-common. Karena memandang pengetahuan sebagai murni barang privat, melupakan sifat dari pengetahuan yang terakumulasi secara intersubjektif.

Di era digital pengkaplingan ini luruh karena teknologi internet. Ruang-ruang siber menciptakan ruang milik bersama (common), dan hal ini dianggap sebagai perlawanan terhadap usaha pengkaplingan. HAKI yang dijalankan secara ketat sehingga menyebabkan berkurangnya akses masyarakat telah melahirkan intitusi-rezim pengaturan baru, seperti kita bisa mengunduh (download) dokumen setelah kita mengunggahnya (upload) terlebih dahulu.  Inilah rezim pengaturan baru dalam era digital. Dan internet sebagai 'Pusat Arsip', secara anekdotal oleh Boyle (2006) dinyatakan sebagai guru, secara praktis jika anak bertanya sesuatu yang tidak kita mengerti kini jawabannya adalah silahkan cari di Google (kita tidak menyuruhnya pergi ke perpustakaan kota).

Hal ini semakin menegaskan bahwa pengetahuan yang tersimpan dalam berbagai dokumen, baik teks-teks, manuskrip, surat,  baik yang bernilai akademik (menurut kategori suatu ilmu tertentu-metodologi ilmiah) ataupun non akademik (tulisan populer, fiksi)  dan artifak kuno, serta kerja kreatif (musik, film, patung/seni rupa) semakin memiliki fungsi sosial yaitu pembentuk masyarakat, dibandingkan fungsi ekonominya.

Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. disebutkan bahwa, arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. [2] Definisi ini lebih merujuk pada fungsi sosial, yaitu kehidupan bersama, sebagai kolektif masyarakat, bangsa, dan entitas formal seperti negara.

Sebagai fungsi sosial, yaitu pembentuk masyarakat antara lain adalah masyarakat semakin diajak bertanggung jawab atas informasi yang mereka berikan. Insentifnya adalah semakin benar (baca: reliabel) kualitas informasi yang diberikan. Selanjutnya, kualitas informasi yang diberikan dimonitoring langsung oleh pengguna (lihat aturan main di Wikipedia, dan common source lainnya seperti Scrib Id, Flicker, dimana pengguna dapat memberikan masukan pada moderator Wikipedia untuk membatalkan tayangan karena hal-hal tertentu seperti mengandung unsur plagiarisme, fitnah, kebohongan, atau pornografi). Ostrom dan Hess (2007)[iii] melihat hal ini sebagai perubahan perilaku dari pemakai pasif (yang ingin gratisan) menjadi kontributor aktiif dalam sumberdaya milik bersama.  Masyarakat juga dibentuk untuk menjadi lebih terbuka dan demokratis karena adanya swa-regulasi. Swa-regulasi ini lah inti dari common resource-sumberdaya milik bersama.

Bahkan jurnal seperti ilmiah seperti American Anthropology Association (AAA) bekerja sama dengan University of California Press yang mempublikasi versi digital jurnalnya, dengan dukungan lembaga masyarakat lainnya, seperti Andrew W. Mellon Foundation. Soros Foundation lewat Open Society Institute, menciptakan Budapest Open Access Initiative, yang memberikan layanan worksop kepemimpinan, perangkat lunak, workshop standar teknis pelaksanaan akses  informasi terbuka dan pendanaan. Dalam terminologi sumberdaya milik bersama, apa yang dilakukan oleh Open Society Institute ini termasuk mempromosikan open access resources. Menurut Kranich (2007)[iv] hal ini berpengaruh langsung pada peningkatan dan percepatan penyebaran informasi dan pengetahuan, termasuk di luar Eropa dan Amerika Utara.

Menemukan Kembali Sejarah

Arsip dari beragam dokumen dan jenisnya memiliki arti yang strategis, karena di dalamnya menyimpan gerak masyarakat, atau dalam kacamata sejarah menyimpan peristiwa-peristiwa. Bahkan surat-surat pribadipun, seperti kumpulan surat R.A. Kartini menjadi menarik untuk dianalisa dalam mengamati konteks budaya pada saat itu, misalnya dalam menggambarkan peran dan fungsi dalam keluarga di Jawa. Surat-surat lain, seperti 'surat dinas kenegaraan' seperti surat raja-raja di Nusantara kepada pemerintah kolonial (Belanda) menggambarkan bagaimana raja-raja tersebut melakukan diplomasi politik modern.

Dalam buku Mu'jiah (2009)[v] digambarkan urusan tata-negara (baca hubungan diplomatik) menggambarkan pula kondisi sosial-budaya masyarakat,  konteks politik/ekonomi, gambaran  budaya lokal, akulturasi budaya, dan banyak hal-sampai pada penggambaran bagaimana pemerintah Belanda mengambil simpati dengan mengikuti cara penulisan dan format surat a la raja-raja Nusantara yang penuh dengan puji-pujian terhadap lawan bicara. Inilah yang dimaksud dengan gerak masyarakat, peristiwa-peristiwa sejarah dapat dianalisis sebagai sesuatu yang dinamis, mengandung unsur komunal sekaligus narasi personal.

Kebutuhan sekarang dari ilmu kearsipan adalah bagaimana menyediakan informasi yang benar tentang sejarah, dan terbuka dengan sejarah alternatif---Kalau “kebebasan adalah alasan adanya (raison d'être) dari politik”, sementara pluralitas adalah kondisi inheren (conditio per quam) dan bukan sekadar prasyarat mutlak (conditio sine qua non) dari kehidupan politik (bios politikos), dan dengan demikian kebebasan dan pluralitas adalah dua sisi dari sekeping mata uang, maka kebalikan dari kedua hal itu (ketidakbebasan dan ketunggalan) adalah apolitis---[vi].  Sejarah alternatif adalah sejarah yang  multi-pendekatan, multi-metodologi,  dimana bukti-bukti sejarah dapat menggunakan beberapa pendekatan, tidak melulu menggunakan pendekatan keamanan, dimana satu-satunya alasan untuk merumuskan sejarah adalah alasan harmoni dan pencegahan ketegangan dalam masyarakat, padahal pendekatan semacam ini menyimpan benih disintegrasi yang lebih parah karena ketertutupan informasi bahkan kebohongan publik.

Multi metodologi artinya sejarah dapat ditulis berdasarkan bukti-bukti lisan, tidak melulu 'arsip resmi' yang ada pada lembaga pemerintah, namun dapat menggunakan sumber arsip lain dan menggunakan narasi personal dari saksi-saksi sejarah yang masih hidup. Sehingga tercipta masyarakat belajar yang terbuka dan kritis. Ketunggalan berarti ketidakbebasan dan artinya menjadikan warga negara sebagai agen apolitis.

Agen apolitis terkungkung oleh kondisi yang diidealkan bukan oleh dirinya sebagai individu dan sosial, namun oleh penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya lewat ketunggalan sejarah. Hal ini tentulah tidak menguntungkan karena apolitis juga tuna-daya, terutama daya nalar untuk melakukan perbaikan-perbaikan, sebab politik adalah ruang tindakan.

Dengan terbukanya era informasi masyarakat menuntut haknya, untuk mengetahui kebenaran. Dan kebenaran seperti ini tidak dapat ditutupi, karena salah satu fungsi sejarah adalah membuka (disclosure) kapling-kapling pengetahuan yang didominasi oleh kebenaran-kebenaran tunggal tadi. Era informasi juga memungkinkan kita merangkai masa lalu dengan lebih teliti, karena sumber-sumber lebih bebas digunakan. Adapun pertanggungjawaban kita dihadapan publik adalah ketidakpercayaan (distrust) jika ternyata informasi yang kita berikan adalah kebohongan.

Contoh dari individu yang dapat menjadi warganegara yang baik (yang bertanggungjawab atas apa yang terjadi dalam masyarakatnya) adalah dalam kasus Koin Sastra di atas, sebagai sebuah peristiwa, sesungguhnya Kons Sastra menyimpan banyak hal, terutama masyarakat tidak menjadi apolitis sehingga mampu merubah keadaan, memaksakan apa yang dianggap baik untuk kepentingan bersama (sejalan dengan prinsip kesejahteraan umum, sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat). Institusi PDS HB Jassin dianggap sebagai milik bersama, sebuah 'nasionalisme kecil'. Yang disingkap disini adalah bagaimana pemerintah daerah dalam membelanjakan belanja publiknya. Lebih jauh dapat diketahui prioritas pemerintah dan kepedulian pemerintah untuk mencerdaskan masyarakat.

Penutup, arsip sebagai sumber pengetahuan merupakan asal untuk menyulam kembali memori kolektif  bangsa. Setiap individu diharapkan sadar arsip artinya menjadi manusia yang sadar sejarah. Lembaga dan organisasi masyarakat yang mengurus arsip, baik akademis maupun non akademis diharapkan dapat menjadikan arsip sebagai barang publik dan sumberdaya milik bersama. Karena di dalamnya tersimpan banyak pengetahuan dan infomasi yang bisa menjelaskan banyak hal, yang berkontribusi pada kondisi kini dan masa depan. Soekarno, dalam Surat-surat Dari Endeh[vii] menyebutkan setiap jenis ketertundukkan (taklid) didahului oleh orang-orang yang buta sejarah, tidak mau tahu sejarah, yang mengambil hanya dari satu sumber sejarah, sehingga hasilnya adalah kemunduran. Dalam bahasa sekarang inilah sikap apolitis, yang artinya menurut pada garis yang mengarah ke bawah---dengan menyuruh kita sadar sejarah, Soekarno mencontohkan cara membuat sejarah: ia melawan, menolak tunduk, mencari dan menyulam kepingan sejarah, membagi pengetahuan, dan menuliskan sejarahnya sendiri.

*****



[1] Oleh Widhyanto Muttaqien, pedagang buku dan penggiat budaya di Akademi Sinau

[2]garis miring oleh penulis



[i] Davenport, Thomas H., and Laurence Prusak. 1998. Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know. Boston: Harvard Business School Press.

[ii] Boyle, James. 2003. “The Second Enclosure Movement and the Construction of the Public Domain.” Law and Contemporary Problems 66(1–2):33–74. http://www.law.duke.edu/journals/66LCPBoyle

[iii] Ostrom, Ellianor and Hess, Charlotte. 2007. Understanding knowledge as a commons: from theory to practice . Massachusetts Institute of Technology.

[iv] Kranich, Nancy. 2007. Countering Enclosure: Reclaiming the

Knowledge Commons dalam . Understanding knowledge as a commons: from theory to practice: Editid by Ellianor Ostrom dan Charlotte Hess. Massachusetts Institute of Technology.

[v] Mu'jiah. 2009. Iluminasi: dalam Surat-surat Melayu Abad ke-18 dan ke-19. Penerbit KPG, Ecole Francaise d'Extreme-Orient, Pusat Bahasa-Departemen Pendidikan Nasional-KITLV-Jakarta.

[vi] Eddi Riyadi Langut-Terre. 2011.  Manusia Politis Menurut Hannah Arendt

Pertautan antara Tindakan dan Ruang Publik, Kebebasan dan Pluralitas, dan Upaya Memanusiawikan Kekuasaan. Makalah Kuliah Umum Filsafat Komunitas SALIHARA, 6 April 2011, yang diselenggarakan oleh Komunitas SALIHARA bekerja sama dengan HIVOS, Jakarta

[vii] Soekarno. 1965. Dibawah Bendera Revolusi. Jilid Pertama, Cetakan Ke Empat. Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun