Mohon tunggu...
Widhyanto Muttaqien
Widhyanto Muttaqien Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemilik Kedai Sinau Jakarta

pemimpi siang bolong cum precariat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Nasionalisme, Kosmopolitanisme, dan Truly Asia

28 November 2010   06:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:14 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

oleh: Widhyanto Muttaqien[1]

Nasionalisme seperti kue donat, kita mengetahui tempatnya yang pasti, di bolongnya.

Kawasan Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) adalah bagian dari kota Jakarta, yang berfungsi sebagai ibukota nasional (capital city) dan sedang berjuang untuk menjadi kota dunia (global city). Mengapa sedang berjuang? Karena jika dilihat dari sisi budaya, sejarah, politik, dan modal simbolik, Jakarta sudah menjadi bagian dari kota dunia sejak masih Batavia atau kota kolonial, sejak dulu Jakarta menjadi pusat transaksi ekonomi dan konsumsi. Bahkan sampai sekarang Jakarta sedang berjuang untuk kenyamanan orang-orang yang memiliki uang banyak, untuk menarik investor ini terbuktikan dengan semakin sedikitnya daerah miskin di tengah kota yang ditata pemerintahnya. Daerah-daerah inidengan aparatus penataanruang bukan mengalami revitalisasi atau peremajaan menjadi permukiman yang nyaman, namun digusur untuk dijadikan kawasan-kawasan bisnis baru, di dalamnya termasuk apartemen atau kondominium untuk kalangan atas.Inilah jalan Jakarta untuk menjadi kota dunia.

Jakarta yang sedang berjuang jika dilihat dari sisi sosial adalah diorganisasi sosial. Trauma kerusuhan melekat pada kompleks bisnis, pasar, dan perkantoran dengan semakin tingginya pagar dan semakin banyaknya satpam yang mudah dikenali. Pagar dan portal juga simbol dari trauma yang melekat pada perumahan menengah-atas, bahkan di kalangan bawahpun ada semacam trauma kriminalitas yang subur, di sudut-sudut kumuh Jakarta terdapat pula pagar tinggi dan pos ronda yang dipenuhi mata curiga. Belum lagi trauma terorisme, Jakarta tidak lagi teduh dengan sikap toleran, pada tampilan luar dan budaya yang berbeda. Sebagai kota dunia Jakarta sedang mencari keunikannya, sebagai ibukota negara tak kalah amburadulnya, Jakarta gagal menyebarkan semangat demokrasi, pengakuan terhadap keragaman bahkan pengakuan terhadap lokalitasnya, sebagai sebuah tempat yang unik. Karena fenomena amburadulnya identitas kota tidak cuma dimiliki oleh Jakarta, kota besar lainnya seperti Medan, Makassar, Semarang, dan Surabaya mengalami proses identifikasi. Berada di jalan kota di empat kota di atas atau di dalam suasana pasar (keramaian) kita (terancam) gagal menikmati identitas kota. Sedikit berbeda, untuk perbandingan, jika kita berada di Denpasar. Nuansa modern dan lokal berkelindan kuat, walau kurun terakhir Denpasar semakin berciri kota dagang-pusat konsumsi dibandingkan pusat budaya.

Budaya yang Diusung Kawasan Taman Impian Jaya Ancol

Nasionalisme bertempat

Sebagai sebuah kawasan (wisata) Ancol dikenal sebagai kawasan kumuh pada awalnya, sisa dari kawasan Ancol masih terlihat jika sebagai kawasan (wilayah, region) Ancol dilihat sebagai bagian dari kelurahan dan kecamatan yang mengelilinginya. Namun kawasan ini berbenah, secara perlahan kawasan ini menjadi salah satu kawasan elit, dan ini seperti bagian dari Jakarta lainnya adalah kawasan yang mengalami trauma kerusuhan, sehingga beberapa tempat di kawasan inipun menjadi semacam ‘pulau-pulau’ yang terpisah, dengan budaya yang (sesungguhnya) tidak dikenal penduduknya oleh orang-orang sekelilingnya. Sekelilingnya jika tidak berpikir stereotipe hanya bisa menebak-nebak. Apakah yang ada dan mendiami‘pulau-pulau’ tersebut? Bagaimana dengan kawasan wisata Ancol?

Di kawasan ini, seperti terlihat dalam gambar di bawah ini, termasuk dalam kawasan palingmahal. Dibangun berdasarkan kemewahan, lokasi kawasan wisata Ancol lebih merupakan kepemilikan privat dibandingkan publik. Nilai kepublikan dari ruang publik disini dipisahkan dari kepemilikan. Hal ini seperti yang berlaku pada fenomena mall, dimana nilai-nilai dari kualitas kepublikan dapat diatur dan dipasang sesuai dengan pengetahuan pemilik mall. Artinya, mall dengan kepemilikan privat juga mempunyai atau melayani fungsi publik secara terbatas. Batasan utamanya adalah: siapa yang sanggup membayar, baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Batasan lainnya adalah pendisiplinan atas perilaku tertentu dan pakaian tertentu (beberapa mall tidak memperbolehkan sandal jepit-kecuali beberapa orang yang dianggap petugas keamanan ‘mampu membeli’ barang yang dijual). Pengetahuan mengenai fungsi publik seperti disediakannya ruang untuk ibu menyusui, keamanan bagi anak pada fasilitas yang disediakan, tempat informasi,tempat ibadah yang layak (ini khas Indonesia), bangku untuk istirahat, jalan-jalan yang ramah penyandang cacat, keamanan, perlakuan (layanan informasi dan dukungan tindakan)tanpa diskriminasi terhadap status sosial, dan sebagainya.

Foto 1. Jarak geografi yang tak berjarak antara ruang yang privat dan  publik

Kawasan Taman Impian Ancol selanjutnya (TIJA) juga demikian, sebagai ruang yang dimiliki secara privat, pengelola memberikan layanan publik. Syaratnya juga jelas, orang yang mampu membayar. Dengan demikian jelas bahwa asumsi bisnis adalah utama, diikuti oleh asumsi penyediaan ruang publik. Asumsi penyediaan ruang publikpun berkelindan dengan motif bisnis, artinya segala kebutuhan yang dapat menyebabkanmeningkatnya omzet adalah prioritas, dalam hal ini melayani konsumen yang diinginkan.

Dalam konteks keIndonesiaan (lepas dari segmentasi pasar) kawasan Ancoltidak mempromosikan seks, kawasan bebas bikini, gambaran sebuah surga tropis. Cita-cita kawasan ini tampaknya juga bukan pada liberasi pada pilihan seksualitas, misalnya pada ‘perayaan’ kaum Lesbian Gay Biseksual dan Traseksual (LGBT), seperti pada pantai Ipanema di Brazil (salah satu indikator toleransi budaya adalah kesediaan untuk mengakui kelompok LGBT sebagai normal dan memilki hak untuk mengekspresikan gaya hidup mereka dalam ruang publik, lihat Florida, 2002). Sasarannya adalah rekreasi fantasi keluarga, yaitu pada peristiwa (event) dunia yang diandaikan. Dunia tersebut mungkin benar ada (seperti anjungan Seaworld) mungkin juga tidak ada seperti anjungan Dunia Fantasi (Dufan), walaupun lebih banyak anjungan yang memberikan penawaran uji nyali, pengalaman untuk menaiki Hysteria dan sebagainya. Sebagai anjungan fantasi TIJAbenar-benar menjadikan manusia sebagai makhluk bermain (homo ludens), memuaskan diri dengan segala permainan yang disediakan. Apakah itu permainan khas Indonesia, itu persoalan lain. Dalam konteks ekonomi yang dapat dibaca adalah permainan tidak memiliki kebangsaan. Sehingga membaca TIJA dalam konteks homo ludens mensti dipisahkan dari nasionalisme.

Nasionalisme dalam kacamata TIJA dapat dilihat dari banyaknya kaum pekerja budaya, seperti seniman lukis, tari, patung, dll. Dan industri budaya yang dibangun dalam kawasan ini seperti banyaknya galeri, kegiatan pameran, festival kebudayaan, dll. Kesemuanya ini membentuk modal budaya, yang jika dikaitkan dengan nasionalisme mestilah terhubung dengan pelaku/pekerja budaya yang bukan berkebangsaan Indonesia. Permasalahan ide kesenian atau bangunan arsitektur berasalal dari bukan Indonesia adalah bukan masalah. Yang terpenting adalah kapital manusianya adalah warganegara Indonesia. Nasionalisme disini terkait dengan kewargaan (citizenship).

Nasionalisme juga dapat dihubungkan dengan perputaran uang rupiah. Jika dihubungkan dengan pertumbuhan ekonomi lokal (baca: Provinsi Jakarta atau Kota Jakarta Utara) maka seharusnya proporsi terbesar bagi keuntungan TIJA dinikmati penduduk yang berdiam (residen) di kawasan kota Jakarta Utara. Kesempatan untuk menikmati pembangunan TIJA sama dengan investasi sosial bagi pengelola kawasan, karena kesempatan, perubahan perilaku, dan perubahan dalam tingkat kesejahteraan masyarakat setempat seharusnya menjadi ukuran keberhasilan kawasan TIJA membangun nasionalisme ekonomi. Bahkan secara lebih luas nasionalisme ekonomi dapat juga dilihat dari heterogenitas etnis dan proporsi pendapatan dalam transaksi di kawasan TIJA sebagai pusat kegiatan ekonomi.

Nasionalisme juga bisa dilihat dari kacamata pilihan orang yang berkunjung (turis), dan ini terkait dengan tujuan tempat. Hal inilah yang menjadi pokok dalam sayembara ini, mengkaitkan antara turis (seharusnya warga negara Indonesia) dengan tujuan mereka. Pilihan untuk datang ke Ancol dan tidak berkunjung ke Singapura atau Malaysia (yang paling dekat) bukan pilihan bagi orang yang tidak memiliki uang. Namun pilihan bagi orang yang memiliki uang adalah pilihan mengalami budaya. Sehingga jika nasionalisme diletakkan pada pengunjung yang memiliki uang (sanggup ke Singapura tanpa banyak pertimbangan) bukanlah asumsi untuk menyatakan merek atidak nasionalis. Karenakarakter rekreasi semisal yang disuguhkan TIJA (baca: anjungan di TIJA) adalah rekreasi yang seharusnya tidak mudah diulang dalam hitungan tahun, artinya rekreasi yag dapat membekas bertahun-tahun. Seperti halnya kita pergi ke Disneyland, maka rasa takjub akan tempat dan pengalaman dalam berbagai pertunjukkan membekas bertahun-tahun. Konstruksi TIJA adalah sebagai tempat rekreasi yang unik dan sedikitnya sekali seumur hidup datanglah ke TIJA.

Perayaan Kosmopolitan

Jika nasionalisme dilihat dari beberapa sisi maka pada kenyataannya kawasan TIJA memiliki semangat kosmopolitan yang lebih dibandingkan kawasan wisata lain, semisal Taman Mini Indonesia Indah dan Kebun Binatang Ragunan. Hal ini terlihat dari desain kafe, tempat peristirahatan, penggunaan bahasa pada rambu jalan dan anjungan, dan motto. Hal ini adalah pengaruh globalisasi pasar dan kebutuhan untuk dapat dimengerti oleh pengguna bukan berbahasa Indonesia, walaupun di beberapa negara seperti Jeang dan Korea, identitas nasional ditunjukkan dengan menggunakan dua bahasa pada artifak budaya mereka, termasuk pada rambu jalan, nama anjungan, bahkan nama toko sekalipun. Terkadang globalisasi memang menyebabkan kita hanya mengkonsumsi, pengaruh tempat sebagai ‘tempat pertunjukkan’ memungkinkan kita cuma menjadi penyediaobjek untuk dikonsumsi oleh orang lain dibandingkan merayakan identitas otentik ataupun memperlihatkan sisi hibriditas budaya sendiri.

Semangat kosmopolitan ini terlihat dari keragaman budaya yang ditampilkan di TIJA. Tidak cuma itu, keragaman pengunjung (turis asing) juga dapat dilihat berkeliling kawasan ini. Para turis ini selain melihat dan mendokumentasikan juga seringkali terlibat dalam percakapan, terutama di Pasar Seni. Sehingga koridor-koridor di pasar seni lebih menampakkan kedekatan TIJA sebagai kawasan yang kosmopolit. Hal ini juga memperlihatkan bahwa modal budaya di TIJA lebih banyak bergerak di kawasan ini.

Semangat kosmopolitan dapat dilihat dari pameran, festival, pertunjukkan jalanan, konser musik yang diadakan di TIJA. Penyelenggaraan Urban Festival, seni instalasi direspon secara baik oleh publik. Kesempatan mengembangkan modal budaya ini tidak serta merta membuat para artisnya kehilangan nuansa ke-Indonesiaan, kecuali untuk budaya tertentu yang jelas-jelas adalah diadopsi dari luar, seperti beberapa pertunjukkan pada Urban Festival yang baru saja berlangsung. Sekali lagi keragaman budaya berhasil ditampilkan TIJA tanpa membuat penonton menjadi canggung atau berjarak. Hal ini jika dikaitkan dengan generasi muda, maka industri budaya dengan banyak bakat dan teknologi yang mereka miliki menyebabkan tumbuh suburnya kelas baru, kelas yang selain mengkonsumsi berbagai budaya luar juga sanggup memproduksi budaya yang hibrida.

Meletakkan kosmopolitan berseberangan (vis a vis) dengan nasionalisme memang akan membuat kebingungan, karena nasionalisme memang membutuhkan teritori, dapat dijelaskan alamat pastinya, seperti halnya pengalaman orang Indonesia merasamenjadi ‘lebih Indonesia’ ketika berada di Arab Saudi, Australia, atau Amerika. Sedangkan kosmopolitan sebagai budaya global mau tidak mau hadir ketika turis asing sebagai pembawa budaya, sekaligus penikmat juga ‘menuntut’ kehadiran budaya yang dianggap etik global, seperti standar kebersihan tempat, ketepatan waktu, ketepatan janji, memperlakukan orang per orang tidak berdasarkan sterotipe etnik atau ras atau keyakinan, namun lebih berdasarkan subyek. Sehingga budaya ini memiliki semacam paradoks, yaitu memiliki etik global namun menuntut pelayanan yang lebih personal, memperlakukan orang per orang sebagai subyek yang berbeda.

1290925782619049497
1290925782619049497

Foto 2. Anjungan pantai

1290925962561758019
1290925962561758019

Foto 3. Anjungan Dunia Fantasi

Truly Asia atau Truly Indonesia

Taman Impian Jaya Ancol dan semangat kompetisi untuk mengedepankan Asia yang Sejati. Beberapa negara di Asia selain Malaysia, juga mengetengahkan tema yang sama: Truly Asia. Asia Sejati, yang artinya mengalami keanekaragaman suku bangsa Asia. Jika ingin ditempatkan maka nasionalisme Indonesia dalam kekinian ditempatkan dalam suatu gerakan mengenai pengakuan dan pengenalan terhadap kebudayaan Indonesia yang unik di antara kebudayaan Asia bahkan dunia lainnya.

Permasalahan yang muncul adalah Asia terbentang mulai dari bagian terbarat Laut Merah dengan Kanal Sueznya, menuju pegunungan Ural,di Utara berbatasan dengan bagian Selatan pegunungan Kaukasus dan Laut Hitam dan Laut Kaspia, di paling Timur berbatasan dengan Samudera Pasifik, di sebelah Selatan Lautan Hindia dan sebagian bagian Utara beratasan dengan laut Artik. Asia sungguh luas. Sedangkan konstruksi Asia cenderung disamakan dengan konstruksi Oriental yang juga salah arah, dalam pengetahuan yang awam hanya meliputi negeri-negeri dengan ciri kulit kuning. Negeri-negeri lain yang bertempat di kawasan Asia yang begitu luas kadang dilupakan oleh pembuat berita. Ini dapat dilihat dalam buku menu yang ada, simaklah kuliner yang bertajuk Oriental. Sehingga Asia yag dimaksud adalah Asia Timur.

Demikian luasnya kawasan Asia sehingga pernyataan “…Ancol agaknya menggenggam semangat menjadi semacam "sentra rekreasi a la Asia…" perlu direvisi atau diubah menjadi semangat yang lebih realistis—akrab, membumi, Truly Indonesia—Mengalami Indonesia. Indonesia juga bukan main beragamnya, jargon Bhineka Tunggal Ika, memaksa kita untuk melihat Indonesia sesungguhnya. Indonesia sebagai kesatuan hanya dapat dilihat dalam keragamannya. Karena secara aktual turis di Indonesia adalah turis domestik (Adam, 1998). Adalah salah arah jika perkembangan turisme terus-menerus mengabaikan kebutuhan turis domestik. Keinginan turis domestik ‘mengalami Indonesia’ sangat besar. Dalam masa Gebyar Wisata 2006, tercatat 112 juta wisatawan lokal dan 5 juta wisatawan asing (lihat publikasi akhir tahun Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2006).

Kenyataan di atas adalah dasar bagi arah pengembangan pariwisata di Indonesia, tidak terkecuali TIJA. Mengenal Indonesia dan mencintai Indonesia dapat terus dilakukan untuk menjaring turis domestik dan edukasi tentang pluralitas dan toleransi di Indonesia. Artinya pengelola dapat lebih memperhatikan bahwa porsi terbesar justru datang dari turis domestik. Sebagian besar penyedia jasa dan pengelola tempat wisata di Indonesia masih diliputi oleh pandangan inferior, yang disebut turis adalah orang kulit putih atau sekarang adalah orang kulit kuning, seperti turis Jepang, Korea, dan China. TIJA nampaknya melihat peluang ini, jika dilihat dari komposisi penduduk maka sebagian besar umat muslim penghuni Indonesia akan merasa nyaman, misalnya dengan kemudahan untuk melakukan sembahyang lima waktu mereka. Fasilitas tempat ibadah, mushola dan masjid dapat ditemui di sekitar anjungan. Hal-hal penunjang seperti inilah yang turut menyumbang kenyamanan pengunjung domestik. Egalitarian bukan cuma dilakukan di saat bermain, namun juga juga di jeda permainan. Percakapan dapat dilakukan kapan saja, namun ruang publik yang ideal adalah ruang yang dapat memberikan kesempatan perjumpaan identitas yang berbeda, yang bisa jadi bukan cuma berurusan dengan keyakinan (faith based) namun juga identitas profesi, suku bangsa, hobby, dan sebagainya.

Indonesia Dangerously Beautyful

Menempatkan lokasi TIJA dalam kawasan Jakarta dan Jakarta dalam bingkai Indonesia, mengingatkan penulis pada kampanye kawan-kawan; Indonesia Dangerously Beautyful, Indonesia sangat indah, keragaman: keindahan alam dan budaya. Turis ingin mengalami hal-hal seperti itu, dan kesempatan untuk datang ke TIJA dipengaruhi juga oleh keindahan sekitar kawasan TIJA. Sehingga pembuka tulisan di atas mempermasalahkan segregasi sosial dan trauma kekerasan serta terorisme. Terkait dengan terorisme inilah ketika beberapa negara, bahkan negara tetangga mengkampanyekan ‘berbahaya’ berpergian ke Indonesia, sebagian kawan-kawan memperingatkan betapa berbahayanya keindahan Indonesia. Keindahan yang seduktif dan membikin cemburu.

Lepas dari kampanye negatif tentang Indonesia, kawasan Ancol membutuhkan dukungan kawasan lain. Misalnya jalan ke Ancol dari Gunung Sahari atau R.E Martadinata, jika ada banjir, tentu akan mengurangi jumlah turis karena akses yang terputus. TJA akan menjadi ‘pulau’ sebenarnya, pulau di tengah genangan.Sehingga TIJA sebagai ecopark dapat dijadikan situs belajar untuk kawasan lain, atau sebagai percontohan cara mengelola kawasan yang seharusnya dipraktekkan oleh pemerintah kota.

Perkembangan kawasan Ancol dan TJA selanjutnya juga diharapkan dapat mengurangi segregrasi sosial, sehingga TJA bukanlah semata menjadi halaman depan atau halaman belakang permukiman mewah, baik yang land based--rumah di atas tanah maupun yang vertical based seperti apartemen mewah. Dengan berkembangnya pengetahuan, keingintahuan masyarakat atas hal-hal terkait penataan ruang, kawasan TJA memiliki harapan untuk meningkatkan kualitas ruang publiknya, ruang bagi semua orang, bukan enklaf yang dimengerti oleh kalangan tertentu. Turis, baik asing atau domestik akan menilai fungsi ruang publik, perayaan atasnya seperti perayaan keragaman, sebagai sebuah keberlanjutan turisme. Karena mengalami Taman Impian Jaya Ancol akan menyisakan cerita, apakah TIJA demikian terbuka atau sebaliknya, tersegregrasi atas kelas.

[1] Penulis adalah pedagang buku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun