Kali ini saya akan membahas tentang “membangun sensasi dan persepsi dalam pemilihan anggotan legislatif”. Sebelum kita membahas mengenai cara calon legislatif (caleg) membangun sensasi dan persepsi calon pemilih terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu sensasi dan persepsi. Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indra. (Benyamin B. Wolman 1973, dalam rakhmat, 1994). Menurut pemahaman saya sensasi dapat diartikan sebagai aspek kesadaran yang paling sederhana yang dihasilkan oleh indra kita.
Secara etimologis, persepsi atau dalam bahasa inggris perception berasal dari bahasa Latin perception: dari percipere, yang artinya menerima atau mengambil.
Persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu; sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana cara seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 1978). Menurut Yusuf (1991:108) menyebut persepsi sebagai “pemaknaan hasil pengamatan”. Bagi Atkinson, persepsi adalah proses saat kita mengorganisasikan dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan. Menurut Verbeek, persepsi dapat dirumuskan sebagai suatu fungsi yang manusia secara langsung dapat mengenal dunia riil yang fisik. Sedangkan menurut pemahaman saya persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris.
Rakyat negeri ini disuguhkan tayangan pola kampanye yang cukup beragam dari para calon wakil rakyat dan partai politik. Memasuki masa kampanye saat ini, para calon legislatif dan partai politik tersebut tengah menyusun strategi untuk mendapatkan suara terbanyak supaya mereka dapat memenangkan pemilu. Mereka berkompetisi untuk “merayu”hati rakyat demi mendapatkan perhatian dan simpati dari masyarakat dengan cara membuat ragam media kampanye yang berisi slogan-slogan kampanye.
Media kampanye (baliho, banner, stiker, kaos, iklan, orasi panggung politik dan lainnya) yang mereka buat, memuat kalimat-kalimat atau gambar yang kadang menggelitik pembacanya karena kata-kata/gambarnya terkadang dibuat cukup ekspresif. Walaupun, masyarakat ada juga yang terkadang tidak terlalu memperdulikan dan tidak kritis dalam memahami isi dari slogan-slogan kampanye tersebut.
Belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, kadang ada calon legislatif yang ketika baru menjadi caleg menggunakan slogan kampanye dengan pernyataan yang dapat meluluhkan hati masyarakat dengan kata-katanya, namun setelah caleg tersebut memenangkan pemilu dan menjabat menduduki kursi wakil rakyat itu, mereka terkadang menjadi lupa diri dan tidak menghiraukan lagi janji-janji kampanyenya dulu.
Selain menggunakan berbagai macam slogan-slogan, para caleg juga menggunakan background mereka untuk mendongkrak hasil pemilu mereka. Dalam contoh poster nampak caleg membawa nama suatu lembaga pondok pesantren yakni “Al-Yasini” dalam kampanyenya. Karena dengan begitu, membuat para calon pemilih mempersepsikan bahwa dengan background pesantren dan menjadi salah satu anggota keluarga pesantren tersebut membuat mereka yakin bahwa orang itu amanah, terlebih lagi ketika anak atau keluarga calon pemilih itu bersekolah atau mondok di pesantren tersebut.
Persepsi yang seperti ini memang sengaja ditimbulkan oleh banyak caleg, karena dengan cara seperti ini calon pemilih mudah mengingat dan memiliki kesan yang baik terhadap caleg tersebut. Permainan persepsi oleh para caleg bukan hanya bermain pada background dan slogan-slogan saja, untuk membuat mereka lebih percaya biasanya para caleg menambahkan foto-foto dari tokoh dalam tubuh partainya. Dengan seperti itu, memperkuat persepsi orang bahwa ketika kita memilih caleg tersebut kita juga turut mendukung tokoh di balik caleg tersebut (tokoh partai). Semisal, mayoritas dari caleg partai gerindra membuat tulisan bahwa jika memilih mereka berarti turut mendukung prabowo menjadi presiden. Mendongkrak kepopuleran prabowo untuk meyakinkan persepsi calon pemilih memang tidak salah, tetapi disitu muncul ketidak percayaan diri dari para caleg akan kemampuannya. Mereka masih bergantung kepada siapa tokoh dibalik partai yang dinaunginya.
Para caleg seolah memutar otak untuk membuat baliho, poster atau banner sekereatif mungkin untuk membangun sensasi dan persepsi yang baik di kalangan para pemilih. Karena dengan begitu, dengan adanya kesan pertama (sensasi) membuat orang mulai mempersepsikan caleg tersebut baik dan amanah. Banyak masyarakat yang tidak menyadari akan hal ini, mereka seolah hanya menganggap itu hal yang biasa dan wajar, tetapi sebenarnya hal itu sangatlah tidak baik menurut saya. Karena hal itu membuat mereka selalu bergantung kepada tokoh dan tidak percaya akan kemampuannya menjadi seorang anggota legislatif yang jujur dan amanah. Masyarakat awam tentu akan percaya dengan mudah jika ada foto seorang kiyai atau orang terkenal dalam baliho, banner dan poster tersebut. Karena mereka berfikir kiyai sebesar itu saja mendukung dia, tentu saja masyarakat awam yang menganggap kiyai itu alim ikut mendukung kiyai tersebut. Di kampung saya, banyak sekali poster-poster caleg yang ditempel di pinggir jalan dan di poster tersebut terdapat foto pemuka agama di wilayah pemilihannya dan bertuliskan bahwa pemuka agama tersebut mendukung caleg tersebut.
Dengan membangun sensasi dan persepsi calon pemilih, caleg tersebut mungkin optimis jika dia akan terpilih. Apalagi menggunakan unsur-unsur yang disebutkan diatas. Oleh karena itu, cerdas-cerdaslah memilih caleg, jangan hanya terpana dengan slogan-slogan serta foto-foto para tokoh, background dan jabatan tokoh tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H