Ibukota negara merupakan salah satu fitur penting dalam geografis politik suatu negara. Â Hari ini Kabupaten Kutai Kartanegra dan Kabupaten Penajam Paser Utara yang mencuat sebagai lokasi Ibukota negara nantinya. Hal ini tentunya menimbulkan pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Tidak sedikit yang meragukan relokasi ini akan terealisasi. Pada dasarnya keputusan untuk merelokasi Ibukota merupakan sebuah keputusan yang berat dan sulit untuk ditindaklanjuti. Namun hal ini bukanlah tidak mungkin, beberapa negara besar seperti AS, Berasil, dan Australia pernah merelokasi Ibukota negara mereka. Lantas apakah kebijakan untuk merelokasi Ibukota sudah tepat?
Takyi (2016) berpendapat bahwa harus ada pembatasan peran terhadap Ibukota negara hanya sebatas adminstratif. Pembatasan peran ini akan memungkinkan penguatan peran kota-kota lain untuk menunjang Ibukota dalam hal penyampaian fungsi lainnya. Jika kita melihat Jakarta hari ini sebagai sebuah Ibukota yang multifungsi tentunya menyebabkan banyak sekali permasalahan yang timbul baik masalah sosial, politik dan ekonomi yang semakin tinggi dan sulit diatasi.
Komitmen yang selanjutnya harus dipatuhi baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah ialah terkait fungsi dari Ibukota itu sendiri nantinya. Jelas bahwa dengan tegas pemerintah mengatakan bahwasanya yang dipindah hanya pusat pemerintahan, dan pusat ekonomi tetap berada di Jakarta.
Selain itu lonjakan urbanisasi dari daerah menuju Ibukota baru nampaknya juga akan menjadi tantangan yang akan dihadapi. Sistem pengendalian penduduk di Ibukota harus benar-benar matang. Bukan menghalangi hak warga negara untuk hidup dan menetap, tetapi menjaga agar kesimbangan tatanan hidup tetap terjaga. Sekali lagi dengan konsistensi mengenai fungsi Ibukota nantinya dapat mencegah kemungkinan terjadinya hal tersebut.
Selanjutnya pemindahan Ibukota negara nantinya akan mempengaruhi pembangunan di kawasan sekitarnya, sehingga pemerataan pembangunan di Kalimantan Timur akan meningkat. Hal ini selaras dengan pendapat Potter (2017) dalam tulisanya yang berjudul "Locating the government: Capital cities and civil conflict" menyebutkan bahwasanya pemindahan Ibukota negara dari kota besar ke luar daerah kota besar akan mempengaruhi pertumbuhan wilayah luar Ibukota utama.
Hal ini tentunya akan menjadi dampak negatif maupun positif. Dampak negatifnya adalah akan memicu deforestrasi dari hutan lindung maupun hutan produksi yang berada di sekitar Ibukota akibat efek pembangunan Ibukota tersebut.
Flora maupun fauna endemik yang terdapat di sekitar Ibukota terancam kebelangsungannya. Jelas untuk permasalahan ini perlu adanya kerjasama antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat terkait pelestarian hutan lindung di sekitar lokasi Ibukota tersebut.
Ibukota negara yang ingin dibangun nantinya harus berdasarkan pada sustainable development and planing atau pembangunan dan perencanaan yang berkelanjutan. City of forestry merupakan salah satu model pengembangan kota yang dapat di adopsi oleh Ibukota nantinya. City of forestry sendiri adalah model pengelolaan kota berbasis ilmu pengetahuan, pengalaman dalam merencanakan serta mengelola hutan danruang hijau di kota dan dimasukan kedalam instrument kebijakan public (Escobedo et.al, 2018).
Pada intinya kebijakan untuk merelokasi Ibukota negara tidak hanya sebatas ambisius dari pemerintah. Keputusan tersebut juga harus didasarkan kepada perubahan mendasar dalam morfologi sosial khas masyarakat setempat (Gilbert, 1989). Artinya pemerintah harus memperhatikan bagaimana berubahnya tatanan kehidupan sosial masyarakat setempat nantinya. Pemerintah harus punya master plan  untuk mengatasi hal tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H