Di Kompasiana dan di media-media nasional hari ini beredar 2 (dua) isu berbahaya. Saya menyebutnya isu karena saya memiliki alasan logis meragukan kebenarannya. Berbahaya, karena isu itu berpotensi menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat. Yang pertama adalah berita mengenai pemerkosaan orangutan oleh petani kelapa sawit di Kalimantan, dan yang kedua adalah bentrokan maut antara petani sawit dan aparat/pam swakarsa di Lampung.
Karena saya adalah petani sawit dan beberapa kali bersentuhan langsung dengan kedua persoalan di atas ( gangguan orangutan dan kisruh pemilikan lahan ) maka saya memiliki penilaian yang bebas-merdeka terhadap kejadian itu. Saya dapat merekonstruksi kronologinya berdasarkan pengalaman di lapangan. tanpa dipengaruhi opini pihak manapun.
Yang pertama mengenai perburuan orangutan. Saya pastikan benar-benar terjadi, dan akan terus terjadi sepanjang manusia dan orangutan bermukim di wilayah yang sama. Persoalan ini hanya bisa dihentikan dengan tata-laksana pengelolaan hutan yang elegan diikuti dengan penegakan hukum yang ketat. Sedangkan sinyalemen petani menangkap orangutan betina kemudian mengikatnya, menggundulinya lalu memperkosanya, masuk dalam kategori kemalangan takdir. Kemungkinan Tuhan ikut menangis karenanya. Sama halnya manusia memperkosa anjing, kambing, sapi, atau manusia kanibal. Ayah mengawini puterinya atau anak mengawini ibu kandungnya. Siapa pun yang melakukannya akan terpental dari golongan manusia beradab menuju pengasingan binatang. Dalam beberapa hal, norma-norma seksual di pedesaan lebih dihormati daripada pandangan masyarakat umum di perkotaan. Kesimpulannya adalah, isu pemerkosaan orangutan itu mungkin saja terjadi secara kasuistis oleh oknum manusia yang menderita kelainan jiwa, namun beritanya sengaja dibesar-besarkan. Tujuannya, agar Bangsa Indonesia membenci kelapa sawit, membenci sawah, membenci ladang, membenci petani, membenci semuanya. Jadilah tukang impor untuk segala kebutuhan hidupnya!
Yang kedua, peristiwa Lampung. Saya perlu pastikan bahwa Mesuji adalah lokasi pertanian yang maju pesat. Artinya, akses komunikasi dan informasi lancar, jalan raya Lintas Timur melintas di tengah Mesuji. Dokter, insinyur, politisi, bankir, wartawan, aktifis sosial, bertaburan di sana. Menjadi aneh bahwa kejadian mengerikan pada awal 2011 tidak terungkap selama ini. Bayangkan, 30 orang terbunuh, rumah ibadah dibakar, warga diusir dan harta bendanya dirampas, janda-janda diperkosa tapi gadis-gadisnya tidak. Siapa bisa memendam rahasia ini selama hampir setahun? Lokasinya hanya 'selemparan batu' dari Jakarta. Bandingkan dengan penembakan di Papua. Bandingkan pula dengan robohnya jembatan Kukar, dalam lima menit beritanya telah menyebar ke seluruh dunia!
Untuk diketahui, sekarang ini bermunculan LSM pejuang keadilan, terutama di sekitar lokasi perkebunan. Kerjanya mencari-cari masalah, menghasut dan memprovokasi warga. Bagi mereka konflik itu adalah lapangan kerja. Selalu saja mereka dapatkan alasan untuk membentuk aliansi rakyat tertindas, untuk menekan pemilik usaha. Jika perlu membenturkan antar kelompok masyarakat. Yang di Mesuji itu, warga setempat bertikai melawan Pam Swakarsa yang juga berasal dari warga setempat.
Menuduh polisi dan tentara berada di belakang pembantaian ini, secara tulus saya meragukannya. Melihat apa yang terjadi selama ini, polisi dan tentara telah berobah, mereka hanya akan menembak jika keselamatan nyawanya terancam. Mungkin saja ada oknum, tetapi tindakan keji sampai memotong kepala manusia pastilah dimuati niat balas dendam. Dalam sejarahnya, tindakan-tindakan seperti ini hanya terjadi dalam pertikaian horizontal, tidak melibatkan tentara atau polisi. Bagaimana pun rusaknya moral aparat, tetapi jelas bahwa tentara dan polisi memiliki organisasi dan garis pertanggungjawaban. Pemimpin-pemimpinnya tak mungkin bersedia dikorbankan sebagai tumbal kelakuan biadab anakbuahnya di lapangan.
Kesimpulannya, tragedi Mesuji mungkin saja terjadi, merupakan kasus pertikaian antar warga yang diprovokasi oleh tukang adu-domba. Seseorang yang mengaku perwakilan warga Mesuji di televisi, dari gaya bicaranya saya bisa menduga bahwa ia pegiat LSM. Seandainya tuntutan mereka berhasil, maka pegiat LSM itu akan membagi-bagi hasilnya. Boleh jadi pensiunan jenderal Saurip Kadi akan memperoleh sekian puluh hektar. Omong kosong dengan tampang saleh lagak mulia, saya sudah menemukan kasus serupa ini berulangkali.
Sayang sekali, korban nyawa telah berjatuhan. Hanya karena dihasut oleh tukang hasut, warga Mesuji tak terpikir lagi untuk menghadap Bupatinya, untuk meminta nasihatnya. Padahal ijin perkebunan itu diberikan oleh Bupati. Sedangkan seorang Bupati, entah koruptor atau bajingan, oleh karena jabatan yang diembannya, ia tak bakal membiarkan rakyatnya yang setia teraniaya di depan matanya!
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H