Mohon tunggu...
Tengku Bintang
Tengku Bintang Mohon Tunggu... interpreneur -

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Money

Warisan Peradaban Yang Tergerus

27 Juli 2011   02:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:21 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Disebut warisan peradaban, tak jelas juga mana buktinya. Kecuali sebagai pelaut, tak ada fakta yang mendukung hipotesis bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan petani ulung sejak dulunya. Jadi semboyan itu hanyalah semboyan belaka, sama seperti semboyan Partai Demokrat memberantas korupsi. Kalau pun coba dibayang-bayangkan leluhur kita itu, yang terbayang adalah kakek tua tanpa baju,kurus kering dan kelaparan, duduk termenung di dalam gua..…..

Tetapi, okelah. Satu hal tak terbantahkan bahwa Bangsa Indonesia mewarisi tanah yang subur dari Aceh sampai Papua, serta laut luas penuh ganggang dan ikan-ikan besar yang mengelilinginya.

Namun jika Anda bertanya kepada pelajar SD sekarang, apakah negeri ini masih layak menyandang predikat negara agraris dan bahari? Mungkin Anda heran, demi perbincangan yang mereka dengar sehari-hari, mereka lebih setuju sebutan negeri mafia atau negeri sinetron. Jangan berkecil hati dengan jawaban itu. Bahkan di Kompasiana ini, yang konon berisi orang-orang terpelajar, saya sempat dicurigai sebagai perusak lingkungan ketika bicara mengenai potensi ekonomi kelapa sawit dan karet. Katanya, sesuatu mengenai emisi karbon, CO2, global warming, black hole, ozon, entah apalagi. Saya sendiri tidak tahu apa beda pohon karet dengan rimba belantara soal kemampuan menyemburkan O2 ke langit pekat. Ternyata memang secara perlahan kita mulai meninggalkan sabda alam itu, dan mulai menapaki kehidupan bangsa dengan mengandalkan sinetron!

Katanya pula, keragaman flora dan fauna Indonesia adalah kekayaan dunia. Dengan 45 taman nasional seluas total 14,1 juta km persegi di seluruh nusantara tidak cukup untuk mengamankan kekayaan dunia itu. Jika petani menebang sebatang pohon akan dipelototi Greenpeace – tapi mereka pura-pura tidak melihat Freeport, Newmont, dan perkebunan Lonsum (London Sumatera) Hutan itu untuk gajah, mawas, harimau, ular. Manusia silakan mengembara jadi TKW, asalkan jangan membuka ladang. Ini menyangkut paru-paru dunia!

Soal paru-paru, saya hanya bisa mengurusi paru-paru saya sendiri, bukan paru-paru milik Barrack Obama. Persetanlah mengurusi dunia, kalau mengurusi bangsa sendiri tak becus. Urusan dunia adalah urusan IMF, NATO, OPEC, MEE, atau mereka yang menghamburkan uang ke luar angkasa. Negara berkembang lebih baik mengurusi perut rakyatnya yang sejengkal, namun terus-menerus terancam kelaparan!

Bangsa Indonesia telah melupakan tasbih alamiahnya, itulah pada akhirnya. Citra peradabannya tergerus, tak lagi suka bertani. Angan-angannya dipenuhi sinetron, boeing 747, goyang dangdut, infotainment, balap formula dan liga sepakbola dunia. Mereka bermimpi suatu saat berganti kulit menjadi bule dan rambutnya berubah pirang. Untuk itu mereka getol belajar bahasa Eropa, budaya Eropa, menggunakan nama-nama Eropa.

Sepenggal keluh-kesah Juffrow Magda Peters tentang bangsawan Eropa yang congkak: “Apa kamu pikir kalau sudah bisa bicara Eropa, berpakaian Eropa, mengerti peradaban Eropa, lalu kamu menjadi Eropa? Monyet tetap monyet!” (Bumi Manusia, Pramudya Ananta Tur).

Alamaaaak……!

Mengapa bangsa ini selalu memandang rendah peradabannya sendiri, dengan mengangungkan peradaban bangsa lain?

Bertani itu kuno. Membuka hutan itu kejahatan lingkungan, merusak habitat hidup satwa langka. Harimau tak boleh diisolir dari manusia, karena hewan pun memiliki hak untuk hidup bebas, begitu pula gajah dan mawas. Kalau harimau memakan manusia, silakan saja, itu kesalahan manusia sendiri.

Di Eropa sana, cucu-cicit Tuan Raffles yang pernah melukai hati Bangsa Indonesia dengan tanam paksa, membuat kalkulasi kritis mengenai peluang ekonomi, dihadapkan dengan kebutuhan hidup minimal manusia. Setiap satu orang manusia di Eropa, kabarnya, memerlukan sebatang kelapa sawit untuk menyokong kebutuhan hidupnya; minyak goreng, sabun mandi, deterjen, oli, minyak karnel, dan lain-lain. Karena mereka tidak memiliki  lahan maka mereka mencarinya di tempat lain, mengulang lagi tradisi imperialisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun