Bagi Anda yang hidup di kota dan telah terbiasa dengan gaya hidup metropolis, perkara ‘mandi sauna’ mungkin barang sepele buat Anda. Berbeda dengan kami warga dusun , fasilitas itu sedikit mengandung masalah. Bukan karena sok alim atau apa, tapi sejauh yang saya tahu mandi sauna itu beda-beda tipis dengan panti pijit. Bagaimana-lah mandi diurusi orang lain - apalagi yang mengurusi perempuan. Hah, bisa berabe! Saya bertekad untuk tidak mempersulit hidup saya dengan hal-hal yang sulit dijelaskan!
Maka saya menjadi salah tingkah ketika seorang kawan dari Jakarta mengajak ‘mandi sauna’. Katanya, untuk menghaluskan kulit sekaligus relaksasi badan dari aktifitas bertani setiap hari. Terus terang saja, sesungguhnya saya tak terlalu peduli urusan kulit. Awalnya saya menolak, tapi lama-lama tak enak juga, mengingat kawan Jakarta itu sedang menyanjung saya. Akhirnya saya berkata: “Okelah….!”
Inilah ceritanya:
Begitu melewati pintu masuk yang berkaca buram itu, kami disambut 3 orang gadis berseragam resepsionis, yang dengan ramah membagikan anak kunci berbentuk kancing baju. Saya bertanya untuk apa anak kunci itu, dijawabnya untuk membuka ‘locker’. Saya diantar olehnya sampai laci mini dimaksud dan menunjukkan cara membukanya. Rupanya ada juga orang iseng di tempat seperti itu sehingga setiap orang mesti mengamankan barang-barang sendiri dalam laci khusus. Setelah itu ia kembali ke ruang kerjanya di resepsionis, digantikan oleh pelayan laki-laki.
Petugas itu memberi saya celana pendek bekas pakai, sambil menunjukkan ruang ganti.
“Ini celana siapa?” saya bertanya.
“Celana disini, Pak. Untuk mandi memang memakai itu….”
Ow…, seumur-umur saya tak pernah bertukar celana dengan orang lain. Karena kuatir kebersihan celana itu kurang terjamin, saya membaliknya saja, memakainya dengan tepi yang di-obras di bagian luar, untuk jaga-jaga.
Lalu pelayan itu menunjukkan kran air untuk mandi. Ia berkata rambut mesti dibasahi dulu sebelum masuk ke kotak sauna. Hm, sepertinya ia sudah tahu kalau saya belum pernah mandi sauna.
Namun begitu masuk ke kamar sauna, saya kaget bukan kepalang. Panas dan pengapnya bukan main! Katanya mandi uap, tapi ini bukan uap, ini panas api. Di pojok ruangan itu ada tungku yang membara, tertutup bongkahan batu. Brengsek! Tak sampai semenit saya bertahan di tempat itu sebelum saya mencelat ke luar, seperti sesak nafas. Tapi heran juga ada orang yang bertahan di dalam, membaluri tubuhnya dengan serbuk garam, sambil angkat-angkat barbel pula!
Teringat desas-desus orang berpacaran di tempat sauna. Lha, apa bisa, ya? Apa tidak matang duluan? Hahaha…., bagi saya tempat itu lebih cocok untuk penyimpanan mummi. Ikan gabus pun akan mengering menjadi ikan salai jika disimpan di kamar itu.
Di dekatnya ada dua kolam renang mini bersebelahan. Yang satu dingin, satunya lagi panas. Yang dingin terlalu dingin, yang panas terlalu panas. Banyak orang berendam sekaligus dalam kolam yang sama, laki-laki semua. Apakah mereka tidak kuatir ketularan penyakit kulit, semacam kudis atau panu? Petugas mengatakan airnya terus-menerus diganti untuk menjamin kebersihannya. Begitupun saya hanya merendam kaki sebatas lutut saja. Tak tahan dengan kondisi airnya.
Akhirnya saya berkesimpulan, berita miring mengenai mandi sauna itu kebanyakan gosip saja. Saya yakin seratus persen, tak ada orang berpacaran di tempat sauna. Bisa keluar dengan selamat saja sudah syukur, apalagi yang lain-lain….
Memang cocok untuk menyegarkan badan. Hanya saja karena saya orang kampung - meski bukan kampungan - saya merasa lucu. Membayar mahal untuk menyiksa diri.
Aku tak biasa, hahaha…haha…
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H