Mohon tunggu...
Tengku Bintang
Tengku Bintang Mohon Tunggu... interpreneur -

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

KPK di Mata Najwa, KPK di Bibir Jurang

4 April 2014   22:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:04 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga orang Komisioner KPK, masing-masing Busyro Muqoddas, Zulkarnain dan Bambang Wijoyanto, tampil dalam Acara Mata Najwa, 2/4, membahas topik Upaya Penggembosan KPK. Hadir pula dalam acara itu Capres Mahfud MD dan Anies Baswedan serta beberapa dedengkot anti-korupsi lainnya. Yang mengherankan adalah, dalam perbincangan selama kurang-lebih 1 jam itu, tak sepatah kata pun mereka menyebut frasa ‘UU Tipikor’ dan ‘UU KPK’. Sengaja atau lalai, penyebabnya sama saja, bahwa para penegak hukum itu telah mengabaikan esensi penting penegakan hukum yaitu aturan hukum. Videonya dapat dilihat disini.

Bambang Widjoyanto (BW) berkali-kali menyatakan bahwa KPK bekerja atas dasar independensi dan kepentingan masyarakat. Ini merupakan refleksi internal KPK dan cara kerja yang dipertontonkannya selama ini. Independensi apa maksudnya? Kepentingan masyarakat yang mana? Banyaknya dukungan pernyataan BW itu - termasuk Mahfud MD dan Anies Baswedan ikut bertepuk tangan, menandakan bahwa penegakan hukum di negara ini berada di bibir jurang yang dalam.

Sebab ‘independensi’ dapat pula berarti semau gue. Bertindak sesuai selera, tak ada kontrol, pokoknya suka-suka. Jika memandang perlu menuduh seseorang melakukan korupsi, tuduh saja, urusan belakangan. Sebaliknya, jika merasa perlu melindungi seorang koruptor, pura-pura tak tahu saja, meskipun buktinya segudang dan telah menyengsarakan masyarakat luas.

Itulah yang menyebabkan pemberantasan korupsi di negara ini tak berjalan sesuai harapan. Sudah sepuluh tahun KPK berdiri, tindak korupsi bukannya menurun malahan makin mengganas. Koruptor besar terbahak-bahak dengan hasil korupsinya, sedangkan koruptor kecil atau orang-orang yang diragukan telah melakukan korupsi luluh-lantak jadi bulan-bulanan penindakan KPK.

Menurut UU Tipikor, KPK itu menjalankan pemberantasan korupsi bekerjasama dengan BPK dan lembaga pengawasan lainnya. Sasarannya adalah penyelenggara negara yang melakukan kejahatan atas kekayaan negara yang berada di bawah kewenangannya. Yang bukan penyelenggara negara dan tidak mengelola anggaran negara tak ada urusannya dengan KPK. Kalau pun ada seorang swasta dinyatakan terlibat korupsi, maka keterlibatannya terbatas sebagai pelaku ikutan, bukan pelaku utama. Dan pelaku ikutan itu hanya akan ada jika pelaku utamanya ada.

Ditetapkan pula dalam UU Tipikor, bahwa KPK itu menjalankan tugasnya dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian dan kerahasiaan. Tidak dibenarkan sembarang membocorkan sprindik, menuduh tanpa bukti. Buktinya itu adalah kejelasan mengenai anggaran yang dikorupsi, jumlahnya dan modusnya. KPK tidak dibenarkan mencurigai seseorang telah melakukan korupsi hanya karena orang itu terlihat kaya-raya. Tidak dibenarkan menggunakan hasil sadapan/rekaman sebagai bukti di persidangan. Jika KPK melanggar prinsip itu dan salah menersangkakan orang, maka UU KPK menyatakan negara wajib membayar ganti rugi dan memulihkan nama baik orang itu.

UU Tipikor itu terkenal keras dan berbahaya, rentan terhadap pelanggaran HAM. Karena itu UU Tipikor dipagari dengan aturan yang keras pula. Tidak mudah KPK itu melangkahi UU Tipikor.

Sedangkan saat ini, lantang terdengar pengakuan saksi Kasus Suap Impor Daging Sapi, Elda Devianne Adiningrat, bahwa LHI sama sekali tidak terlibat dalam kasus yang menghebohkan itu. Dirinya, yang juga Komisaris PT. Radina Bioadicita, mengaku sebagai inisiator penambahan kuota untuk PT. Indoguna Utama, tanpa melibatkan LHI.  Artikel terkait disini dan disini. Hal yang sama telah diakui Ahmad Fathonah, bahwa ia menyesal telah menyeret LHI dalam kasus ini. Tetapi kenyataannya KPK dengan segala arogansinya tak memdulikan semua kejanggalan tuduhannya, menghukum LHI 18 tahun penjara.

Hal yang sama terjadi pada kasus korupsi Hambalang. Sudah 2 (dua) kali BPK melakukan audit investigatif dengan mengikuti aliran dananya, tak ditemukan nama Anas Urbaningrum. Tetapi begitu pun KPK tetap menjadikan Anas Urbaningrum sebagai tersangka..

Menarik mengkuti perkembangan kasus ini setelah pemilu nanti. Tak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi, jika bangsa ini tak pernah belajar dari kegagalan masa lalunya. Yang pasti, jika institusi hukum sekelas KPK terindikasi melakukan rekayasa hukum, maka itu adalah kemalangan terbesar bagi penegakan hukum. Itu lebih merusak daripada seluruh perkara korupsi yang pernah terjadi di negeri ini!

******

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun