Mohon tunggu...
Tengku Bintang
Tengku Bintang Mohon Tunggu... interpreneur -

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jika KPK Teledor, Negara Membayar Ganti Rugi

27 Januari 2014   15:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Muncul beragam reaksi masyarakat menyikapi penangkapan-penangkapan KPK sekarang ini. Ada yang mendukung ada yang menolak. Yang mendukung beralasan bahwa pemberantasan korupsi mesti dilakukan secara ekspansif, sedikit berimprovisasi tak mengapa, yang penting koruptor diberantas, apa pun yang dilakukan KPK benar adanya. Sedangkan kelompok yang menolak menyatakan bahwa KPK telah melakukan serangkaian abuse of power, sesuatu yang sangat dilarang dalam UU Tipikor. Uniknya, pada kelompok kedua ini terdapat dua ahli hukum yang memiliki peran penting menyusun UU Tipikor itu, yakni Prof. Adnan Buyung Nasution dan Prof. Romli Atmasasmita.

Sanggahan Jubir KPK Johan Budhi terhadap pendapat dua ahli hukum senior itu layak kita renungkan bersama. Direnungkan secara mendalam, karena KPK adalah institusi negara yang bertindak atas nama negara. Jika KPK melakukan kesalahan maka itu adalah kesalahan negara, sehingga negara-lah yang akan memikul akibatnya.

Sebagai pijakan, mari kita teliti garis besar UU Tipikor itu, siapa pun bisa membacanya dan dengan mudah dapat memahami maksudnya;

1. UU Tipikor hanya berlaku kepada Penyelenggara Negara yang memiliki kewenangan mengelola uang negara.

2. UU Tipikor dimaksudkan untuk menyelamatkan uang negara yang dikorupsi. KPK bertugas mengembalikannya lagi ke kas negara. Tujuan luhur UU Tipikor itu adalah menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

3. UU Tipikor dirancang sangat keras, karena itu diperlukan kehati-hatian dalam implementasinya.

Untuk menjaga dari kemungkinan penyalahgunaan untuk tujuan-tujuan politik atau tujuan lain selain pemberantasan korupsi, maka dibuatlah pagar pengaman yang juga ketat. Pagar pengaman itu antara lain adalah; memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan di atas, terdapat dua alat bukti yang sah atas tindakan korupsi. Semua alat bukti itu mesti dimiliki KPK sebelum menyatakan seseorang sebagai tersangka pelaku korupsi.

Pagar pengaman terpenting adalah, jika KPK keliru menersangkakan orang, maka negara wajib memulihkan nama baik orang tersebut dengan mengembalikannya kepada kedudukan semula. Kemudian negara wajib membayar sejumlah ganti rugi immaterial atas penghancuran karakter yang dialaminya.

Nah, berkaitan dengan itu penting diperhatikan, sudahkah KPK benar-benar teliti dan hati-hati? Benarkah LHI dan Ahmad Fatonah berwenang mengatur kuota impor daging sapi? Benarkah Anas Urbaningrum memiliki wewenang mengelola Anggaran Hambalang? Benarkah Nazarudidin adalah pejabat negara yang berwenang mengelola anggaran Wisma Atlet Palembang? Siapa sebenarnya penanggungjawab anggaran negara itu sehingga Nazaruddin bebas mencomotinya?

Untuk saat ini, boleh saja KPK menafsirkan UU Tipikor sesuai pemahamannya sendiri. Sebagaimana Johan Budhi menyatakan: “Silakan saja Prof Romli menafsirkan seperti itu, tetapi kami di KPK punya penafsiran tersendiri……….!”

Tetapi sebentar lagi pimpinan nasional akan berganti, suasana akan berubah. Jika presiden berikutnya adalah negarawan ulung yang menghormati hukum, tentu saja ia tidak mau dibebani setumpuk kotoran hukum warisan pendahulunya. Sebagai Kepala Negara ia adalah Hakim Tertinggi di negara ini. Bisa saja ia memerintahkan Jaksa Agung untuk membereskan semuanya sejak hari pertama ia menjabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun