Salah satu jalan dosa menurut petuah Mo-Limo adalah madon, artinya main perempuan. Sedangkan kesempurnaan hidup seorang lelaki tercapai jika telah memiliki pesirah, turangga dan kukila. (Kukilo, arti harfiahnya adalah burung, dalam hal ini dapat pula diartikan sebagai perempuan). Tak terhindarkan tendensi diskriminasi gender dalam hal ini. Namun apa boleh buat, petuah ini sudah dipatenkan nenek-moyang. Bagi yang tak mengerti Bahasa Jawa Kuno supaya bertanya kepada temannya, sebab lapak Kompasiana tak mencukupi untuk menguraikan arti semua ini.
Survey terakhir di Italia menunjukkan, 90 persen pikiran Orang Italia berisi halusinasi seksual. Laki-laki bekerja, berolahraga, mencari uang, tujuannya supaya memperoleh layanan seksual terbaik. Begitu pula sebaliknya, perempuan Italia bekerja, memasak dan mencuci, yang ada dipikirannya cuma kemaluan laki-laki. Itulah sebabnya Italia merupakan satu-satunya negara di dunia ini yang secara sah memiliki perwakilan Partai Seks di parlemen, ialah Ilonna Staller, seorang germo.
Di Amerika, mereka menyebut seks sebagai ‘the most important value in our life’. Bagi mereka urusan selangkangan lebih penting dari urusan sembako. Mulut tak makan sehari tak mengapa, yang penting si otong kenyang. Presiden negara itu, Bill Clinton, pernah menyelipkan cerutu di selangkangan sekretarisnya, kemudian mengisapnya lagi. Di Jepang pun tak jauh berbeda, di balik kesantunan dan sifat patriotisme yang mereka miliki, tersembunyi industri film esek-esek paling mekar di dunia.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Sedikit beruntung bangsa ini masih waras. Santun dalam bersikap dan berkata-kata. Persoalannya adalah selera seksualnya yang sangat primitif, terlihat pada reaksinya jika menemukan kasus hukum berbau celana dalam. Tidak laki-laki tidak perempuan, langsung ikut terbangkit birahinya, Jika ia penulis maka ia akan menulis sambil nungging-nungging, dan jika ia pembaca maka ia akan berkomentar sambil nungging juga. Institusi hukum berselera kolonial sangan memahami selera rendah ini, dan memanfaatkannya. Maka setiap ada kasus hukum seumpama korupsi, aparat hukum akan segera mengaduknya dengan isu selangkangan. Strategi itu membuat kasus hukumnya kabur, diganti dengan kegaduhan seksual, segaduh kelakuan gerombolan monyet ketika mengadakan upacara seksual yang barbar di pepohonan.
Itulah sebabnya UU Tipikor yang keras itu langsung mabuk ketika bertemu celana dalam. Betapa naïfnya, uang Rp. 10 juta milik Maharani Suciono dirampas oleh KPK dengan alasan uang itu milik negara. Padahal Maharani memperolehnya sebagai imbalan atas jasa yang diberikannya. Sedangkan trilyunan uang negara lenyap di PLN, di Ditjen Pajak, di Century, tak digubris oleh KPK. Meskipun sudah ditunjuk-tunjuk hidung oleh DPR dan BPK, tetap saja KPK tak melihatnya.
Dengan demikian, semoga uang Rp. 10 juta milik Maharani Suciono dikembalikan kepada pemiliknya semula. Kalau pun hendak dirampas, biarlah Penyidik KPK saja yang menggunakannya, seumpama membeli gorengan. Sebab jika dimasukkan ke kas negara, itu akan mengotori APBN dengan bau selangkangan. Negara ini tidak miskin-miskin amat sehingga harus memulung uang dari orang yang tak berdaya, dengan memperalat UU Tipikor yang suci dan mulia.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H