Pertanyaan ini mengusik pikiran saya sejak lama. Bukan tanpa alasan. Saya melihat banyak tulisan-tulisan bermutu terlewat begitu saja tanpa mendapat penghargaan semestinya, sedangkan tulisan-tulisan yang tak jelas relevansinya bagi pembelajaran masyarakat mendapat penghargaan yang luar biasa. Nongkrong di kursi HL berlama-lama dengan segala kesombongannya.
Sebagai contoh tulisan bermutu yang terabaikan adalah tulisan dari Kompasianer S. Ritonga dan Kompasianer Berthy B. Rahawarin. Bagi yang meragukan pernyataan ini silakan berkunjung langsung ke lapak yang bersangkutan untuk membuktikannya sendiri.
Sedangkan contoh tulisan sepele yang mendapat penghargaan khusus dari Admin Kompasiana adalah tulisan dari Kompasianer Linda Jalil dan Kompasianer Gustaf Kusno. Untuk ke-dua orang ini, tulisannya seolah-olah wajib HL. Bergunjing pun mereka atau sekedar mengutak-atik tulisan koran, itu akan dipampangkan di halaman muka sebagai HL. Bagi yang tak percaya pernyataan ini silakan pula mengunjungi blog mereka itu.
Persoalan ini penting mengingat Kompasiana adalah jejaring sosial terbuka. Setiap orang bebas beropini dan mendapat kesempatan yang sama mengekpresikannya. Menjadi panutan atau tidak, itu tergantung kualitas opini yang ia tawarkan. Memiliki tulisan yang terus-menerus menjadi HL adalah suatu keberuntungan, berkesempatan berpidato lebih lama, berpeluang membentuk opini, sekaligus meraih popularitas. Sedangkan popularitas itu merupakan suatu berkah. Tentu saja popularitas dari sudut pandang yang positif.
Di sisi lain, kualitas peradaban bangsa kita sekarang ini masih jauh dari harapan. Di semua lini, menyangkut ipoleksosbud. Jauh tertinggal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini. Kasus-kasus TKI, politik caci-maki, perusakan lingkungan, kerusuhan, korupsi dan sebagainya. Salah satu penyebabnya adalah saluran komunikasi yang buntu. Tak kurang ide-ide brilyan bertebaran di tengah masyarakat, tapi terpendam karena tak ada saluran. Dalam kaitan itu, Kompasiana merupakan media yang menjanjikan dan sungguh futuristik.
Karena itu saya pernah menyarankan agar keberadaan HL ditinjau ulang, kecuali Admin Kompasiana memiliki tenaga dan waktu untuk menyisir setiap tulisan yang luar biasa banyaknya itu. Jika tidak, ia akan menimbulkan kecemburuan, in-efisiensi dan absurd. Tulisan-tulisan berkualitas tinggi yang sangat diperlukan untuk pembelajaran masyarakat menjadi terabaikan. tertutup oleh tulisan-tulisan sepele yang tak sebanding nilainya.
Bahkan bagi penulis-penulis kondang pun memasuki HL ada sopan-santunnya. Tidak setiap tulisan yang dipublish-nya otomatis menjadi HL. Bicara tetangganya sakit, menjadi HL. Ia membaca koran Belanda, menjadi HL. Ia mesti mempersiapkannya secara baik dan hati-hati, betapa pun jagonya ia menulis.
Atau, apakah Admin Kompasiana bisa di lobby?
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H