Pernyataan Rhoma Irama tentang rencananya ikut bertarung dalam Pilpres 2014, memicu munculnya gelombang character assassination. Jika sebelumnya gejala semacam ini dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, maka hal itu tidak berlaku jika sasarannya adalah Rhoma Irama. Para praktisi politik maupun pengamat seolah-olah berlomba menghina, menghujat, melecehkan dan merendahkan Rhoma Irama sambil tertawa-tawa antar sesamanya. Tak salah lagi, hasrat politik telah mendorong sifat-sifat manusia yang paling menjijikkan naik ke permukaan!
Bahwa Rhoma Irama berhak mengikuti Pilpres, itu tak perlu dipersoalkan. Ia pun akan menjawab pertanyaan soal isu-isu kebangsaan, jika ada orang menanyainya. Soal jawabannya mengena atau tidak, itu terserah kepada siapa pun yang menilai dan siapa yang mendengar.Cocok nomor angkat barang. Tapi kalau pertanyaan diajukan untuk mencari-cari kelemahannya, sebagaimana yang dilakukan Najwa Shihab, itu lain lagi masalahnya. Belum menjawab sudah ditertawakan. Tak ada manusia yang mampu memberi jawaban tepat memenuhi keinginan semua orang.
Bahwa Rhoma Irama memiliki kemampuan manajerial, itu sudah dibuktikannya dengan menjadi Raja Dangdut selama 40 tahun lebih. Selama itu pula ia tidak menthel sebagaimana artis pada umumnya. Jiwa nasionalismenya terpancar melalui lagu-lagu yang ia ciptakan. Jelas-jelas ia tak pernah korupsi, tak pernah memark-up anggaran untuk membeli alat musik. Soal pluralisme, ia menjalani kehidupan yang plural, berbeda dengan yang dipersepsikan orang.Soal perempuan, ia menikahi isterinya sebagaimana mestinya. Tetapi, memang, ah…..., begitu banyak gadis bahenol yang tergila-gila padanya!
Ada banyak sisi positif Rhoma Irama yang diabaikan orang. Ceramahnya yang memang rasialis itu telah menutup semuanya. Semoga menjadi pelajaran penting baginya jika memang bersungguh-sungguh hendak mengikuti Pilpres. Masih ada waktu dua tahun lagi untuk memperbaiki semuanya. Toh, hanya permainan kata-kata!
Daripada calon-calon lain. Cuma di mulut mengaku anti-korupsi, tetapi minyak goreng di rumahnya saja dibeli dengan uang korupsi. Mengaku anti-narkoba tetapi membela bandar narkoba. Mengaku kesatria tapi penakut. Mengaku menghargai konstitusi tetapi membangkang terhadap panggilan DPR. Mengaku membela rakyat kecil tetapi menghindari tanggungjawab lumpur. Tindakan-tindakannya berbeda jauh dari apa yang ia ucapkan. Masih lebih baik Rhoma Irama!
Lihat pula bagaimana para politisi sekarang ini berusaha menyingkirkan Yusuf Kalla dari gelanggang persaingan. Seseorang yang telah terbukti kemampuannya memimpin bangsa, terancam tak bisa mengikuti Pilpres karena tak punya perahu. Sudah menyingkirkan JK, sekarang hendak menjegal Rhoma Irama pula. Padahal, kedua orang ini sepertinya cocok juga berpasangan.
Sudah sepatutnya kita menghargai siapapun yang berniat memperbaiki keadaan bangsa ini, termasuk JK dan Rhoma Irama.
Selebihnya, terserah Anda!
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H