[caption id="attachment_217578" align="aligncenter" width="300" caption="Yasser Arafat, Yitzhak Rabin, Bill Clinton. Inilah momen yang memicu pembangkangan Hamas kepada Pemimpin PLO, Yasser Arafat"][/caption]
Apa sebenarnya yang diinginkan Hamas memicu perang melawan Israel? Mendirikan Palestina Merdeka? Melenyapkan Israel dari muka bumi? Sebegitu dangkalkah pemahaman para petinggi Hamas tentang seni perang? Ahli strategi perang terkemuka dari Daratan China, Sun-Tsu, mewanti-wanti: “Kenali musuhmu, kenali dirimu. Seribu kali perang seribu kali menang. Barang siapa mengawali perang tanpa alasan yang patut, maka bersiaplah menghadapi kehancuran ….!”
Hamas adalah singkatan dari Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah, suatu badan amaliyah yang mengadopsi gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, mengkhususkan diri pada pelayanan di bidang sosial, moral, dan pendidikan. Itulah alasan mengapa pada awalnya Pemerintah Israel merestui ormas ini dan mencatatkannya pada akta kenegaraan resmi. Seiring berjalannya waktu, Hamas mulai disusupi oleh tokoh-tokoh politik garis keras yang lalu merubahnya menjadi gerakan politik lengkap dengan sayap militer. Kegiatannya pun berubah, dari gerakan amal menjadi cita-cita memusnahkan Bangsa Israel dari muka bumi. Untuk cita-cita terakhir ini, tentu saja Pemerintah Israel memberi jawaban pasti, Hamas-lah yang mesti lebih dulu lenyap dari muka bumi!
Sifat tak kenal kompromi Hamas terlihat jelas dengan mengecam keputusan Pemimpin PLO Yasser Arafat ketika bersalaman dengan Yitzhak Rabin dalam persetujuan Oslo. Sebagai akibatnya Hamas tidak mengakui lagi kepemimpinan Yasser Arafat untuk Seluruh Palestina dan mendeklarasikan perjuangan sendiri di Jalur Gaza. Situasi ini memicu konflik internal di tubuh PLO antara Faksi Hamas dan Faksi Fatah, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa. (Hamas mengusir semua anasir Fatah dari Jalur Gaza, memaksanya kembali ke Tebing Barat ). Tindakan Hamas ini merupakan pemberontakan yang seterang-terangnya. Bagi Yasser Arafat sendiri, pembangkangan Hamas merupakan pil pahit yang harus ditelannya di akhir kehidupannya.
Sekarang ini, dunia menyaksikan Hamas sedang berjuang menggapai cita-cita politiknya, dengan caranya sendiri.
Jika tujuannya untuk memusnahkan Bangsa Israel, jelas jauh panggang dari api, perimbangan kekuatan militer terlalu timpang. Belum termasuk akseptabilitas dalam pergaulan internasional. Cap teroris terlanjur melekat pada reputasi Hamas. Jangankan Negara-negara Arab tetangganya, bahkan Yasser Arafat sendiri tidak merestui Hamas. Dan Presiden Palestina yang sekarang, Mahmoud Abbas, sejauh ini belum tergerak membantu Hamas.
Jika tujuannya untuk meraih kemakmuran bagi sekalian Penduduk Gaza, jelas meleset, karena dengan membangun benteng pertahanan di tengah pemukiman padat penduduk, Hamas telah menjadikan rakyatnya sebagai tameng. Ketika arsenal peluncur roket itu dibombardir Israel, maka rakyat sipil-lah yang menjadi korban.
Tetapi jika tujuannya untuk meraih simpati dunia - hanya simpati dan belas kasihan - maka Hamas telah mencapainya. Makin banyak warga sipil jadi korban, makin bagus bagi Hamas. Tak henti-hentinya televisi menyiarkan gambar anak-anak yang terluka bersimbah darah, wanita-wanita yang memekik meminta pertolongan, rumah-rumah yang hancur dan terbakar. Diselingi pula dengan takbir, istigfar, doa dan tangisan yang mendayu-dayu.
Seolah-olah perang agama, padahal bukan. Ini adalah peperangan untuk memuaskan hasrat politik para tokoh-tokoh Hamas petualang yang haus kekuasaan, dengan merancang perang yang bersimbah darah di pihaknya sendiri.
Simpati dunia untuk Rakyat Gaza yang menderita.
Betapa besar kemalangan ini.
*****
Sumber photo : disini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H