Terkejut, komentar saya pada artikel Anda ternyata telah melukai hati Anda, sampai-sampai membuat postingan mengenainya. Maafkanlah, saya menyesalinya. Namun penting saya nyatakan kepada Mas Dardiri, komentar itu didasari oleh keprihatinan saya yang mendalam atas musibah Sampang. Saya melihat anak-anak yang memekik, clurit-clurit yang diamangkan dan rumah-rumah yang dilalap api! Saya marah karena saya mencintai kedamaian di Madura. Tak ada lain!
Soal celurit itu, dari dahulu memang saya anggap sebagai simbol keterbelakangan budaya yang membuat Warga Madura menemui banyak persoalan, di kampung halamannya maupun di perantauan. Celurit itu tak lain adalah senjata tajam yang diproyeksikan khusus untuk duel carok. Di daerah lain ia banyak ditemukan dalam tindak kejahatan.
Saya mengenal banyak kawan dari Madura, di Jawa dan di Sumatera, di antaranya terdapat golongan terpelajar. Meskipun terpelajar, pada umumnya mereka tetap membekali diri dengan celurit. Jika tidak di selangkangannya, setidaknya di mobilnya.Sedangkan di rumahnya, selain celurit masih ada golok angker-sangar bergagang panjang yang dirancang untuk menebas kepala manusia. Jika terjadi keributan antar tetangga atau konflik fisik sedikit saja, semua alat-alat itu diamangkan, membuat suasana mengancam dan berbau darah!
Saya tak tahu mengapa kawan-kawan dari Madura begitu memujanya. Bahkan Mas A. Dardiri, jika Anda asli Madura, saya berani ramalkan Anda pun menyimpan senjata-senjata itu di rumah Anda! (Semoga ramalan ini keliru…)
Setahu saya, di Indonesia ini terdapat beberapa daerah yang masih memelihara budaya melengkapi diri dengan senjata tradisional. Yang paling terkenal adalah Madura dengan celuritnya. Pada kenyataannya senjata-senjata itulebih banyak digunakan untuk mencabik-cabik tubuh saudara sendiri, dilatarbelakangi persoalan berebut perempuan, berebut tanah warisan, bertikai soal kepercayaan. Ayah membunuh anak, suami membunuh isteri, kakak-adik berbunuhan, paman membunuh keponakan, tetangga membunuh tetangga, dan selanjutnya. Karena mereka itulah yang berinteraksi sehari-hari.
Sedangkan alasan patriotisme, melawan penjajah misalnya, tak pernah terdengar cerita pasukan celurit berhasil mengusir Belanda atau Jepang di masa lalu. Tak ada Pahlawan Nasional diabadikan gambarnya sambil memegang celurit hingga kini. Tak ada satu pun!
Di Jawa juga ada keris, tapi tak ada orang tawuran sambil mengacung-acungkan keris. Demikian halnya di Aceh, pisau rencong nyaris dilupakan, digantikan dengan cangkul dan kapak untuk membuka lahan perkebunan.
Saya mohon maaf, atas kerasnya komentar saya hingga melukai hati. Di dalam permohonan maaf ini, sekali lagi saya titipkan pesan, semoga Mas Dardiri tergerak untuk ikut mengecam penggunaan celurit dalam setiap konflik sosial. Bukan jamannya lagi. Simpan celurit itu di museum, jauhkan dari kehidupan sehari-hari, karena ia hanya memicu munculnya cerita pilu dari waktu ke waktu.
Meskipun saya mencintai Madura, tentunya Mas Dardiri lebih mengenalnya dan lebih mencintainya, sebagai putera bangsa yang berasal dari Madura..
Salam Kebangsaan!
****