Preposisi: Hari ini, di suatu pasar pagi di Jalan Lintas Sumatera, penulis melerai perkelahian dua orang ibu yang bergumul di atas debu jalanan, menempel seperti kucing, saling menjambak rambut. Demikian kalapnya perkelahian itu, sehingga diperlukan tamparan keras di kedua jidat mereka untuk menyadarkannya. Akhirnya terpisah. Telinga keduanya meneteskan darah karena anting-anting yang tercabut dengan paksa. Dari pekik dan sumpah-serapah mereka kemudian, diketahuilah bahwa akar pertikaian ini adalah persoalan hutang-piutang, yakni persoalan ekonomi yang makin menghimpit seiring makin dekatnya lebaran.
***
Di Jalan Lintas Sumatera yang damai dan tenteram, mengintai malapetaka kemanusiaan yang mengerikan. Jika ada mobil terbalik atau mengalami kecelakaan, jangan berharap mendapat bantuan gratis. Persetan-lah dengan Sabda Nabi bahwa orang yang sedang teraniaya mesti mendapat pertolongan, malahan kesulitan orang lain dijadikan kesempatan untuk meminta bayaran yang mencekik leher. Jangan mengira truk-truk bermuatan sembako atau kelontongan yang terbalik di tepi jalan akan aman dari penjarahan. Dalam waktu singkat seluruh muatannya akan habis dijarah massa. Meskipun kecelakaan itu terjadi di bulan puasa!
***
Demi dua fakta di atas, dan demi mencapai hasil terbaik pelaksanaan Ibadah Puasa yang sedang berlangsung sekarang ini, sudah sepatutnya kita kembali menelaah penyesalah Haji Saleh, tokoh sentral dalam cerita Robohnya Surau Kami, (AA Navis, 1956). Seorang penjaga surau yang tekun beribadah, rajin berzikir dan mengaji, sampai-sampai ia melupakan anak-isterinya demi bhatinya kepada Tuhannya. Akan tetapi malang tak dapat ditolak, keputusan sidang Mahkamah Tuhan menetapkan Haji Saleh masuk neraka, karena ia hanya shaleh kepada Tuhan tapi ingkar kepada kemanusiaan.
Tersirat dalam karya monumental itu, bahwa Tuhan memerintahkan manusia giat beribadah adalah agar arif dalam kehidupan ini, selalu ingat untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi, saling menolong dalam memuliakan martabat kemanusiaan, berusaha menyelaraskan diri dengan harmoni alam. Itulah sebenar-benarnya tujuan ibadah itu, dan itulah pintu gerbang menuju surga itu. Karena bagi Tuhan, tak ada bedanya manusia menyembahNya atau tidak, Tuhan tetaplah Maha Mulia, Maha Kuasa, Maha Segala-galanya…..
Wallahu A’lam Bisshawab!
***
Add. Tengku Bintang, seorang pejalan, muslim, warga Sumatera yang bebal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H