[caption id="attachment_174481" align="aligncenter" width="620" caption="Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) salah satu koleksi Kebun Binatang Medan, sedang tidur. (M Hilmi Faiq/KOMPAS)"][/caption] Sebenarnya, sampai hari ini belum ada satu-pun tindakan realistis yang dilakukan oleh pihak mana pun dalam rangka pelestarian populasi Harimau Sumatera di alam liar. Sekali lagi, belum ada satu-pun! Yang telah dilakukan barulah sebatas himbauan-himbauan untuk menghentikan perburuan liar dan perambahan hutan, tanpa prospek yang jelas. Tak terkecuali para pegiat lingkungan yang sok jual tampang mengendus jejak harimau ke dalam hutan, mengambil foto dan mencatat-catat, tetapi yang mereka tinggalkan di hutan itu barulah sebatas kotoran mereka saja, alias Nol Besar! Mengapa? Karena penyelamatan harimau itu bukan urusan sepele, bukan soal perburuan liar atau perambahan hutan saja, melainkan lebih dari itu. Istilah kerennya, ini persoalan multi dimensional plus plus. Ini membutuhkan perencanaan besar, pekerjaan besar dan biaya besar. Eh, Mbak! Konflik antara manusia dengan harimau itu adalah urusan takdir, tak bisa dirubah, namanya hukum alam. Manusia dengan harimau tak mungkin hidup berdampingan sebagaimana manusia berdekatan dengan kambing atau kerbau. Harimau itu binatang buas, Mbak, suka memakan manusia! Sejatinya, pembunuhan harimau oleh manusia telah berlangsung sejak zaman purbakala. Tidak benar bahwa konflik itu baru terjadi sekarang. Alasan-alasan ketiadaan makanan atau perambahan hutan adalah alasan sekunder. Memang benar, persoalannya makin intens sekarang ini karena pertumbuhan populasi manusia, berakibat habitat harimau menyempit. Akan tetapi pertikaian itu telah ada sejak dahulu, sekarang dan dimasa datang. Setiap kali manusia tepergok harimau di alam bebas, urusannya hanya satu : Membunuh atau dibunuh! Mbak, di dalam kehidupan ini, nilai tertinggi adalah nyawa manusia. Meskipun manusia itu sudah tua dan penyakitan, bodoh atau gila, bahkan jenazah manusia sekali pun tak boleh dimakan hewan. Di pedesaan, apabila kedapatan harimau memangsa manusia maka vonisnya adalah hukuman mati bagi binatang itu. Tak ada yang bisa menghambat tindakan ini. Bahkan seorang penyayang binatang kelas wahid-pun akan merestuinya jika melihat langsung betapa besar kemalangan yang diakibatkan oleh serangan harimau itu! Orang-orang yang sok membela harimau dan merelakan manusia dimangsa, adalah mereka yang tidak ada urusan dengan kehidupan desa. Dan korban-korban yang dimangsa harimau itu bukan siapa-siapa bagi mereka. Bukan anaknya, ayahnya, ibunya, atau saudaranya Di daerah Natal, berdekatan dengan Taman Nasional Batanggadis yang dihuni harimau - begitu pula di daerah lain - warga pedesaan diwajibkan menunggui pekuburan sampai seminggu setelah kerabat mereka dimakamkan, untuk menjaga jangan sampai kuburannya dibongkar harimau! Jadi mengharapkan manusia sadar untuk tidak membunuh harimau yang mengancam keselamatan mereka, adalah harapan yang terlalu jauh. Itu tidak akan tercapai, meski seluruh dunia berteriak dan seluruh harimau telah punah! Kalau begitu, apa yang mesti dilakukan? Tak ada yang lain, Mbak, selain upaya memisahkan harimau dari komunitas manusia. Memagari areal konservasi harimau dengan kawat listrik, jalan satu-satunya. Sia-sia saja kampanye itu, sia-sia saja semua romantisme itu, kalau tindakan rasional pemisahan itu tidak dilakukan. Lambat-laun harimau akan punah, suka atau tak suka, mau atau tak mau! Tapi seperti kita lihat, sampai hari ini upaya ke arah itu belum dimulai. Jangankan dimulai, direncanakan saja belum. Jangan direncanakan, bahkan terpikirkan pun belum. Bukankah begitu, Mbak? Inilah yang saya sebut persoalan krusial itu. Dilestarikan atau dibiarkan punah, tergantung upaya kita sekarang ini. Tidak cukup hanya menghimbau-himbau atau unjuk keperihatinan. Situasinya semakin kritis saja jika dibiarkan berlarut-larut. Saya mesti akui pula, bahwa saya sendiri belum melakukan apa-apa. Jangankan saya pribadi, sedangkan negara ini saja tak mampu. Yang kerap saya lakukan hanyalah menangani korban amukan harimau sambil membayangkan masa depan yang suram. Diam-diam saya mengaguminya juga, dan menyayangkan jika satwa kharismatis ini lenyap dari muka bumi akibat keterlambatan kita menanganinya, sama halnya dengan Harimau Jawa dan Bali. Saya tahu persis, pada detik saya menulis artikel ini, ratusan jerat harimau menganga di seluruh Hutan Sumatera, siap memutus kaki harimau atau mencekiknya supaya terdiam membeku dalam keheningan. Tidak diambil kulitnya, melainkan dibiarkan membusuk saja! Ini pekerjaan dunia, karena harimau adalah milik jagat raya! Selamat Pagi sekali, Kompasiana! (04.23) ***** Add. Tengku Bintang, Nyanyi Sunyi Tuan Dimana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H