Ketika dahulu terjadi pengumpulan koin untuk Prita, disusul rencana pengumpulan koin untuk SBY karena mengeluhkan gaji, JE. Sahetapy menanggapinya dengan terkekeh-kekeh. Ia menilainya sebagai lelucon segar menohok sifat buta-tuli pemerintah. Tetapi begitu muncul gerakan mengumpulkan 1000 pasang sandal, JE. Sahetapy bermuram durja. Beliau benar-benar tak suka, bersikukuh pada pendirian, ada sesuatu yang tak beres dengan masyarakat kita.
Prof. Dr. JE. Sahetapy, guru besar Ilmu Hukum terkemuka saat ini, yang keharuman namanya telah melintasi samudera dan menyeberangi gunung-gunung, menunjukkan isyarat menolak. Sebagai orangtua yang kepakarannya telah dimurnikan oleh pengalaman dan usia, sudah sepatutnya kegelisahan orangtua yang agung ini kita jadikan peringatan untuk bermawas diri. Ada hal apa sehingga beliau murka?
Perkiraan saya adalah, munculnya budaya pengerahan massa, solidaritas membabi-buta, menabrak segala aturan atas nama rakyat jelata, pada akhirnya bangsa ini makin dekat ke jurang huru-hara. Mungkin itulah yang tak disukainya.
Sebagaimana diketahui, segmentasi komunitas manusia selalu terbagi menjadi tiga lapis, yaitu kaum birokrat pada lapis atas, kaum cerdik-pandai pada lapis tengah dan rakyat jelata yang paling tebal pada lapisan bawah. Sudah merupakan tuntutan alamiah, kelompok lapis tengah merupakan perekat yang mensinergikan lapis atas dan lapis bawah. Sejarah menunjukkan, kegagalan lapis tengah menjalankan fungsinya dapat berakibat bencana yang menghanguskan nilai-nilai kemanusiaan. Contoh nyata dari bencana itu adalah Revolusi Bolsyevik di Rusia yang telah mengirim lebih dari 20 juta manusia ke alam baka….
Di Indonesia dewasa ini sedang berlangsung gelagat yang sama. Sedikit-sedikit muncul solidaritas, sedikit-sedikit mengumpulkan koin, mengumpulkan sandal, menyuarakan dukungan atas nama rakyat tertindas. Demo petani bohong-bohongan pun mendapat simpati. Para preman menggerayangi perusahaan dibela-bela. Polisi menegakkan hukum, salah, tidak menjalankan tugas, apa lagi! Pokoknya, semua serba salah.
Sementara itu yang berada di lapis tengah tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Termasuk penghuni lapis tengah itu adalah para penulis kompasiana ( kompasianer termasuk cerdik pandai), malahan terjun ke lapis bawah, bukannya mendinginkan malah memanas-manasi. Ciri-khas cerdik pandai adalah mengenali permasalahan dan menyodorkan solusinya. Ialah solusi yang elegan, komprehensif, menguntungkan bagi semua pihak. Menilai permasalahan dari berbagai sudut pandang. Makin banyak sudut pandangnya makin baik hasilnya.
Barangkali, itulah yang dapat saya petik dari kegelisahan seorang JE. Sahetapy.Semoga tulisan ini berguna bagi rekan-rekan kompasianer lain yang baik hatinya. Terutama, tentu saja, berguna bagi saya di tempat yang sunyi, pagi hari ini. Sekali lagi saya ingin mempersembahkan penghargaan kepada Prof. Dr. JE. Sahetapy. Beliau adalah seorang yang sederhana, yang dari raut mukanya mengesahkan bahwa beliau telah menjauhkan diri dari hiruk-pikuk duniawi. Beliau adalah orang yang tulus…., dan bijak bestari!
Selamat Pagi Kompasiana.
Dari Tepi Hutan Nusantara Yang Damai.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H