[caption id="attachment_156873" align="aligncenter" width="599" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Semua perkebunan kelapa sawit, dari Aceh sampai Lampung, milik perorangan atau perusahaan, tahu belaka penyakit sosial yang menghantui kebun sawit, ialah Grandong. Beroperasi di kegelapan malam, dengan tombak tajam di tangan, penyakit kronis ini acapkali menimbulkan intrik-intrik di tengah kebun sawit. Manajemen perusahaan memecati pegawainya karena dicurigai bekerjasama dengan grandong, para buruh saling mencurigai antar sesamanya, satpam perusahaan dan masyarakat sekeliling saling mengintimidasi. Tidak jarang ketegangan itu meletuskan perkelahian fisik yang membuat manusia bertumbangan ke neraka.
[caption id="attachment_150013" align="alignleft" width="243" caption="bajak laut betina (from google)"][/caption]
Grandong adalah sebutan untuk pencuri semi-terorganisir yang menjarah kebun sawit dari waktu ke waktu. Pada umumnya meraka adalah warga pendatang yang awalnya berniat membuka kebun sawit, namun gagal karena berbagai kesulitan, akhirnya terjebak dalam kegiatan pencurian. Sebagai pencuri, mereka memiliki hubungan saling membutuhkan dengan penadah di perkotaan - biasanya oknum aparat atau preman besar. Mudah mengenalinya karena mereka bermukim di sekitar perkebunan, melakukan jual-beli buah sawit tapi tidak memiliki kebunnya. Sebagian warganya menjadi buruh, sebagian lagi menjadi grandong. Para pengelola kebun sawit telah lama dipusingkan dengan fenomena ini, tapi tak dapat melepaskan diri darinya.
Jika dibiarkan, perkebunan sebesar apa pun akan bangkrut olehnya. Jika diberi tindakan keras akan menimbulkan gejolak. Melapor kepada aparat hukum, mereka akan mendapatkan toleransi sebagai orang kecil yang tak berdaya. Diminta menjadi buruh supaya mendapatkan penghasilan yang halal, mereka oga-ogahan, antara iya dan tidak. Diberi sebidang tanah untuk membuka kebun, dengan cepat mereka akan menjualnya lagi. Diberi sebidang kebun siap panen tinggal memetik hasilnya, o, beratus-ratus keluarga akan menyusul di belakangnya yang akan menimbulkan bencana lebih besar lagi.
Begitulah terus persoalan di jantung hutan. Adakalanya riak-riak kecil terselesaikan, adakalanya terpendam menjadi dendam. Adakalanya tercetus menjadi gelombang dahsyat yang mengguncang peradaban.
O, dunia!
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H