Topik tak sedap ini kembali saya angkat ke hadapan pembaca, sebagai wujud komitmen saya terhadap pelestarian Harimau Sumatera. Pada tulisan sebelumnya berjudul: Menggagas Relokasi Harimau Sumatera ke Jawa dan Bali, saya tidak memperoleh banyak dukungan, malahan kritikan pedas dari berbagai pihak. Satu hal – sesuatu yang sudah saya duga sebelumnya, bahwa warga pedesaan di Pulau Jawa dan Bali pun tidak menghendaki ada harimau berkeliaran di lingkungan mereka. Kondisi ini pula dihadapi oleh warga pedesaan di Pulau Sumatera, hal mana menjadi penyebab utama satwa kharismatis ini meluncur menuju kehancuran.
Bagi pecinta binatang buas di kota-kota besar, harimau adalah makhluk kerinduan. Bagi perusahaan HPH yang mengeksploitasi hutan, harimau itu tak ada apa-apanya. Tapi bagi petani yang bermukim di desa-desa terpencil di Pulau Sumatera, harimau itu adalah mahluk penyebar teror di hutan belantara.
Di desa translok Manau, sebuah desa perbatasan antara Riau dan Sumut, ada seorang pemuda kampung diberi gelar Si Pemberani. Gelar itu disandangnya atas keberaniannya menikam sampai mati seekor harimau yang nyaris lolos dari jeratan, menggunakan bambu runcing. Tak ada yang keberatan atas tindakan itu dan tak ada yang melaporkan kejadian itu kepada petugas yang berwenang. Ia dianggap pahlawan bagi keamanan lingkungannya.
Mengapa warga pedesaan memusuhi harimau? Jawabannya terang sekali, seperti matahari di langit siang. Tetapi atas berbagai pertimbangan khususnya menyangkut dana, aparat berwenang mengabaikannya. Sedangkan para pegiat lingkungan berusaha menutupi alasan itu, mungkin tidak tahu atau pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu. Akan tetapi bagi siapa pun yang memiliki akal sehat, niscaya akan segera memahaminya setelah melihat photo ini, ( pshyco distress) sisa-sisa jasad korban terkaman harimau di Sumatera.
Mudah menghentikan perburuan liar jika ada kemauan. Cukup satu kalimat perintah dari Presiden SBY kepada Kapolri untuk menegakkan hukum, sita semua bangkai harimau yang dijadikan hiasan di kota-kota besar, itu akan sangat berpengaruh. Tapi untuk menghentikan warga pedesaan memusuhi harimau itu tidak mudah, semustahil mengubah takdir harimau dari karnivora menjadi herbivora.
Oleh karena itu saya berkesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Harimau Sumatera dari kepunahan adalah mengisolasinya di Taman Nasional. Segala teori-teori muluk mengenai kesadaran kolektif pelestarian alam, menyalah-nyalahkan petani pedesaan, adalah pepesan kosong tak berguna. Bahkan Pangeran Charles pun, yang konon pelindung WWF kelas dunia, niscaya akan berpendirian serupa jika beliau bermukin di Pedesaan Sumatera.
Sebagaimana digembar-gemborkan oleh LSM dunia bahwa hutan tropis nusantara adalah paru-paru dunia serta segenap satwa langka yang ada di dalamnya adalah kekayaan dunia juga, maka sudah sepatutnya seluruh dunia ikut menanganinya. Jangan cuma omog-omong, himbau-himbau tapi segala sesuatunya diserahkan kepada Warga Pedesaan Sumatera.
Keterlambatan dalam penanganan ini dapat berakibat Harimau Sumatera mengikuti nasib saudaranya di Pulau Jawa dan Bali. Harimau Jawa dinyatakan punah pada tahun 1956, sedangkan Harimau Bali pada tahun 1935. Punah di tangan masyarakat pedesaan yang mengamankan diri dan keluarganya.
******
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H