Kisah ini tak jauh berbeda dari jutaan kisah para manusia Indonesia lainnya. Saya tulis beberapa tahun lalu, sepulang menghadiri pemakaman dari salah seorang sahabat 'terbesar' dalam hidup saya.
*
Pada suatu hari di bulan September, beberapa tahun yang lalu, saya berhenti di sebuah rumah tukang jahit untuk menjahitkan salah satu celana yang robek. Ada pemandangan yang berbeda yang pertama kali saya temui di tempat ini: semua penghuni--penjahitnya ada empat orang--adalah pria dan wanita yang sudah sangat uzur. Tak ada saya lihat satupun pemuda atau anak kecil, bahkan bapak-ibu. Salah satu penjahit mengatakan kepada saya bahwa mereka berempat mengontrak rumah ini bersama-sama sejak tahun 2001. Sejak tahun 1977, mereka berempat sudah berpindah-pindah dalam menjalankan usaha kolektiv mereka. Pada salah satu penjahit, Pak Yasir, dengan lancang saya bertanya kenapa dan kemana. Kenapa mereka berpindah-pindah, kenapa mereka selalu berempat dan kemana sanak famili mereka. Awalnya Pak Yasir enggan untuk menjawab. Beliau hanya diam termangu memandangi jari yang sibuk bergerak-gerak mengatur arah kain yang dipatukin jarum besi. Namun karena seringnya saya menyinggahi mereka, kekakuan itu mulai pudar, Â dan rahasia-rahasia lama yang seharusnya hendak mereka simpan rapat di dalam relung hati mulai terbongkar.
Awal mulanya adalah ketika saya datang untuk mengepaskan ukuran jaket almamater yang terlalu kebesaran. Waktu itu entah kenapa saya begitu malasnya untuk mengobrol, hingga saya memutuskan untuk membaca saja. Kebetulan saya baru saja mendapatkan buku tua Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Tjerita Dari Blora. Dari ekor mata, saya dapat melihat berkali-kali Pak Yasir melirik ke arah buku yang saya pegang. Ia kelihatan gugup ketika saya menutup buku dan memandanginya. Dengan terbata-bata ia berkata:
"Itu, bukunya dapat darimana, Nak?"
Kecurigaan saya selama ini akhirnya terjawab hanya karena sebuah buku. Sepertinya ia menganggap bahwa saya bukanlah seorang picik seperti generasi muda yang lahir di jaman orde baru pada umumnya, hingga akhirnya ia mulai berbicara lepas terhadap saya.
"Di jaman Kakek, itu buku ngetop. Tapi penulisnya... kamu tau dia siapa?" katanya. Saya tersenyum dan mengangguk. Lantas saya dengan kelancangan dan kekurang-ajaran masyarakat urban bertanya tanpa tedeng-aling aling kepadanya. "Bapak bekas PKI?" Ia diam. Menghentikan segala aktivitas jahitnya, lalu pergi begitu saja meninggalkan saya. Buk Gemuk--karena memang gemuk--mendatangi saya, tersenyum lalu meneruskan jahitan yang tadi ditinggalkan oleh Pak Yasir. Setelah menanyai saya--mengetes, apakah saya termakan oleh propaganda orba atau tidak--akhirnya Bu Gemuk menceritakan kisah Pak Yasir kepada saya. Kira-kira begini kisahnya:
Mereka berempat adalah aktivis kiri--entah kenapa, Bu Gemuk tetap tak mau disebut komunis--di jaman Presiden Soekarno. Pak Yasir adalah aktivis BTI (Barisan Tani Indonesia), Bu Gemuk tergabung dalam HSI (Himpunan Sarjana Indonesia), sedangkan dua yang lain tergabung dalam SOBSI. Di masa mudanya, menurut Bu Gemuk, Pak Yasir adalah seorang ahli dalam teori marxisme-leninisme. Ia berapa kali di ajak oleh Pak Asmu (ketua BTI pusat) untuk ikut dalam kongres PKI di Jakarta. Di kota saya sendiri (Medan) Pak Yasir adalah sahabat dari mantan Gubernur Sumatera Utara saat itu: Jenderal Ulung Sitepu. Sebelum G/30/S meletus, Pak Yasir  menjalin persahabatan dengan orang-orang Nahdiyin (NU) dan orang-orang Marhaen (PNI). Beliau mengajak mereka untuk bersatu padu dalam membantu para petani yang berada jauh di pedalaman Deli Tua. Hampir setiap minggu, Pak Yasir dan teman-temannya datang ke daerah-daerah yang tak terjangkau kendaraan umum--mereka harus berjalan kaki sejauh 1 hingga 3 kilometer--untuk membawa pestisida, cangkul, dan segala macam kebutuhan para petani. Setiap sebulan sekali, mereka datang untuk mengambil panenan yang berlebih lantas menjualkannya ke kota. "Tak perlu bawa-bawa nama Tuhan jika hanya ingin membantu sesama manusia,"
Pak Yasir juga salah seorang tokoh yang sangat menentang poligami dan patriarkisme dalam rumah tangga. Bu Gemuk mengenang bagaimana ketika Pak Yasir harus berkelahi dengan adik kandungnya sendiri akibat keinginan sang adik yang ingin mengambil istri muda. "Itu sesuai anjuran moral dalam partai, Nak. Lah, Bung Njoto yang ganteng itu aja kena skorsing partai kan gara-gara mau kawin lagi, tau sama Bung Njoto?" katanya. Pak Yasir juga pernah menghukum beberapa petani yang ketahuan menampar istri mereka masing-masing. "Kita sedang memperjuangkan terhapusnya sisa-sisa feodalisme, lah gimana mau jalan kalau masih ada yang semena-mena sebagai suami."
Sebagai tokoh penting BTI, Pak Yasir hidup sangat sederhana. Kedua anaknya tak diijinkannya untuk naik sepeda ke sekolah bila diantara teman-temannya masih ada yang jalan kaki. Dia juga sering bertengkar dengan istrinya karena sang istri teramat sering mengancam untuk pulang ke rumah orang tua karena aktivitas Pak Yasir yang terlalu jarang berada di rumah.
Maka, meletuslah G/30/S! Rumah Pak Yasir diserbu massa. Dibakar, barang-barangnya di jarah, begitupun rumah tetangga-tetangganya yang waktu itu terletak di daerah Simpang Tworiver. Istri dan kedua anaknya berhasil menyelamatkan diri. Namun yang membuat Pak Yasir sakit hati adalah: para penyerang ternyata adalah pemuda-pemuda Marhaen yang beberapa bulan sebelumnya ikut bersamanya menjenguk desa-desa terpencil! Dengan muka yang terus menunduk, Bu Gemuk menceritakan bagaimana para petani yang dulu sering dibantu oleh Pak Yasir cs dibantai hanya karena: namanya terdaftar dalam orang-orang yang menerima bantuan dari BTI/PKI. Kabarnya, ratusan petani itu dikumpulkan di sebuah gudang beras kosong di daerah Namurambe, lalu diberondong ratusan peluru oleh pasukan RPKAD. Setelah itu, Bu Gemuk tak tahu apa yang terjadi pada Pak Yasir, yang jelas Pak Yasir sempat ditahan di RTM Jl.Gandhi.