Jadi tadi sore saya sowan ke rumah Pak Kancil. Beliau eks BTI (Barisan Tani Indonesia), underbownya PKI. Baru sebentar kami ngobrol, melintaslah beberapa anak kecil sembari berteriak-teriak, "Ada PKI, ada PKI!" ke arah beliau. Tapi beliau kelihatan tenang seperti tak ada apa-apa. Maka saya pun bertanyalah.
"Ngga marah Pak dibegituin?"
"Ya, ngga'lah. Malahan saya bangga lho, Nak."
"Bangga gimana?"
"Ya itu tadi. Saya disebut PKI. Ya, saya bangga lho. Asal Anak tahu saja ya. Menjadi kader PKI itu susahnya bukan main. Ada sekolahnya beberapa bulan. Sekolah ideologi. Terus kalau selesai ada tahap pengenalan marxisme segala macam. Terus mesti ada ajuan dari kader PKI cabang resort. Wiihhh... Susah amat! Di kampung ini, dulu, kalau ada yang dapat kartu anggota PKI, kita bikin selametan."
"Oh, karena itu Bapak bangga disebut PKI?"
"Ya iya tho? PKI itu partainya wong intelek, Nak. Jangan disamaratakan. Belum tentu dia ngaku komunis terus bisa jadi anggota PKI. Paling banter ya jadi Pemuda Rakyat, atau BTI kayak saya ini."
"Kalau Lekra, Pak?"
"Seniman-seniman itu? Ngga tahu saya. Yang pasti mereka bukan PKI-lah. Mana mau seniman capek-capek belajar marxisme segala macam."
"Jadi sekali lagi Bapak ngga marah disebut PKI?"
"Lah, ngapain marah? Pak Harto udah mampus kok."