By Tengku Ariy Dipantara
Merahnya fajar menggelinding lantas memayungi sebuah dusun bernama Sibodat. Dari jauh terlihat satu keluarga besar Sipanggarap yang beranggotakan satu ayah, satu ibu, tujuh anak, dan seekor monyet putih mulai bergandengan tangan menuju salah satu lahan pertanian yang telah mereka tandai di kaki bukit Sicadas.
“Milik kita tanah ini Amang?” tanya Sipitu—anak yang ke tujuh—saat pertama ia ‘dipaksa’ untuk ikut menggarap lahan.
“Bukan anakku, Pitu. Ini punya Tuhan di atas sana. Dititipkan kepada kita, lalu kita rawat baik-baik,” jawab ayahnya sambil memandangi Bukit Barisan yang berjejer rapi nan anggun di atas sana.
“Di atas? Kata Amangtua, Tuhan ada di urat leherku, Amang. Berdenyut-denyut saat kupegang, bohongkah dia, Amang?” Ayah tergagap. Tak cepat ia jawab pertanyaan Sipitu, hingga Sipitu menarik-narik ujung bajunya menuntut jawaban. Ayah sebenarnya mengerti maksud Amangtua—saudara lelakinya yang pernah belajar ilmu agama di Bukit Tinggi, namun ia tak pandai menjabarkannya kepada Sipitu, hingga ia cukup menjawab, “Sudahlah, Pitu. Yang kau tanya tadi tanah ini milik siapa ‘kan? Sudah dijawab! Jangan banyak kali pertanyaanmu itu! Husy! Sana ikut menggali dekat Sipapat. Husy!"
*
Di salah satu siang yang teduh, ketika riak-riak awan yang tanpa alasan enggan meninggalkan keluarga bahagia itu dari atas lahan mereka, datanglah anak pertama—yang telah cukup lama merantau ke kota kecamatan untuk menjadi buruh angkut—sambil berlari-lari girang.
Setelah bertukar bau dan keringat dengan adik-adiknya, Sisada berjalan menghampiri ayah-ibunya yang sedang beristirahat di bale bambu buatan tangan mereka yang perkasa. Secepat kilat Sisada mengeluarkan sebentuk senjata yang ujungnya melengkung dari dalam tas karung goni miliknya.
“Lihat ini, Amang! Ini namanya arit, di Pulau Jawa di sebut celurit. Lambang dari keperkasaan kaum tani yang meruntuhkan feodalisme Tsar di Rusia!”ucapnya jumawa sambil mengangkat tinggi benda yang menyerupai bulan sabit itu. Keenam saudaranya lantas berlari mengerubungi Sisada. Plengak-plengok memperhatikan barang itu. Berbisik-bisik, bergumam-gumam, malah ada yang terkikik.
“Tak jauh bedanya dengan sabit. Macamnya kau ini Sada! Apapula tadi itu, peodasar… apa itu?!” bentak si ayah yang terlihat kesulitan menahan senyum.
“Berbeda Amangku! Jelas berbeda. Lihat bentuknya, lebih mudah digunakan untuk membabat rumput, lihat!” Sisada berjongkok, memeluk segumpal rumput lalu menjumputnya dengan alat itu. Maka, terpotonglah dengan cepat rumput tadi.
Kembali terdengar gumaman, kali ini ditambah dengan cekikikan yang tak lagi bisa ditahan.
“Dengarkan, hey adik-adikku. ini diberikan oleh Partai Pembela Rakyat di kota Siantar sana. Untuk ayahku dan adik-adikku! Lain kali akan kubawa lebih banyak!”
Hening....
*
“Amangku, Amangku yang kusayang. Apa artinya itu?” tanya Sipitu kepada ayahnya saat mereka bersantai di bale rumah sambil menunjuk sebuah bendera kecil bergambar Palu-Arit yang ditempel Sisada tadi siang di dinding rumah yang terbuat dari tepas.
“Itu godam dan sabit, anakku. Artinya? Ya godam dan sabit disatukan.”
“Tapi, kata Bang Sada itu artinya rakyat berlawan, Amang. Apa itu rakyat berlawan?”
“Husy! Yang kau tanyakan tadi artinya itu godam dan sabit. Kalau abangmu bilang yang lain, ya tanyakan pada dia. Yang kau tanyakan sudah ku jawab. Husy! Tidur sana!” Ayah merasa jengkel. Baru kali ini ia tak bisa menjawab dengan sesuai apa yang ditanyakan oleh anaknya yang cerewet itu. Ia terkenang masa-masa ketika Sipitu belum lagi lahir. Ketika Sisada belum aneh-aneh seperti sekarang. Ia merasa sempurna sebagai seorang ayah. Ayah yang tahu segalanya, yang bisa memuaskan dahaga pengetahuan anak-anaknya. Namun sekarang? Ia mulai kelabakan menjawab pertanyaan dari mereka. Ia teringat percakapannya tadi sore dengan Sipitu dan Sisada. Malu benar ia rasanya.
“Listrik sudah mulai masuk ke kota, kata Bang Sada. Kehidupan jadi sempurna! Apa itu listrik Amang?” tanya Sipitu.
“Benar-benar aku tak tahu apa itu lis.. itu tadi. Apa mesti aku jawab?’ Ayah membatin. Namun dengan serampangan ia menjawab juga: “Kesempurnaan hanya milik Tuhan, jangan macam-macam kau, Pitu!” tuduhnya sambil tak sadar menghindari tatapan mata Sipitu dan Sisada.
“Tuhan itu listrik, Amang! Tuhan sudah turun ke dunia, walau masih menetap di perkotaan. Dia mewujud menjadi listrik! Sekali jentik, dunia jadi terang benderang! Sekali pijit, dunia bisa berputar!” jawab Sada sambil tersenyum.
Ayah linglung. Dunia serasa berputar. Tuhan turun ke dunia? Mungkinkah itu? Bagaimana rupa si Tuhan? Sebesar apa bentuk tubuhnya? Mau apa dia turun ke dunia? Dan berjuta pertanyaan lain menubruk dan menghantam tepat di tengah pusaran otak kecilnya. Ia benar-benar sakit menahan rasa ingin tahu. Ya, sakit. Karena ia malu untuk menanyakannya pada Sisada, anak tertua. Yang ia bisa hanya mengangguk. Lalu berpura-pura masuk ke kamar untuk bersembahyang.
*
Setahun, dua tahun, tiga tahun hingga lima tahun setelah kepulangan terakhir Sisada. Kehidupan keluarga Sipanggarap tetap tak berubah; masih setia dengan bertani dan berkebun di tanah milik 'Tuhan lama'. Bedanya hanya pertanian mereka semakin makmur setelah datangnya beberapa orang kota yang tersenyum senang saat memasuki rumah mereka dan melihat bendera mini berwarna merah bergambar Palu-Arit yang tertempel lusuh di dinding. Itu sekitar pertengahan tahun yang lalu.
Pemuda-pemuda itu lantas memberinya banyak bibit unggul—menyusul beberapa bulan kemudian mereka mengirimkan cangkul dan pestisida—sambil menyalami dan memeluk tubuh ayah yang tetap terlihat perkasa di usia senja.
“Kalian dari kota? Utusan Tuhan listrik?” tanyanya sambil berlinang air mata. Ia terharu.
“Tuhan listrik?” jawab pemuda-pemuda itu sambil melongo.
“Ya! Tuhan yang turun ke dunia dan menjelma menjadi listrik itu!”
Tawa pun pecah! Gerombolan pemuda itu terbahak-bahak. Hampir saja mereka terkencing di celana mendengar guyonan ayah. Berpikir itu hanya guyonan satire, mereka pun membalas dengan guyonan pula.
“Ya! Kamerad Lenin pernah menyatakan itu. Anda ini orang Rusia yang menyamar menjadi orang Indonesia yah?”
Kembali mereka terkikik. Tak tahu mesti bersikap bagaimana kepada orang-orang pemurah ini, ayah malah ikut tertawa. Tawa yang kering…
*
“Amang tetap menyuruh kami bersembahyang, tapi waktu pemuda-pemuda itu datang, Amang menyebut-nyebut Tuhan listrik. Bagaimana itu ceritanya Amang?” tanya Sipitu setelah mereka sekeluarga selesai bersembahyang di bagian belakang rumah.
“Ah, ‘kan baru utusannya saja yang datang. Dengar, kalau mereka datang lagi, Amang akan meminta agar mereka membawa Amang ke rumah si Tuhan listrik itu. Sekalian biar bawa pulang abangmu Sisada itu. Sudah lima tahun dia tak pulang-pulang!” jawabnya sambil berdiri, berjalan ke meja, lalu menenggak segelas air tebu yang sudah terlalu aneh rasanya.
“Buat apa Amang menemui Tuhan listrik?” lanjut Sipitu. Sementara saudara yang lain beserta ibu telah bubar dan mulai bergelempangan di bale besar di ruangan itu.
“Buat…” Ayah kebingungan mencari jawaban yang tepat. Namun ia sadar akan posisinya selama ini. Harus dijawab, apapun jawabannya. “Ya, buat mengucapkan terima kasih! Bagaimanapun Amang tak akan meninggalkan Tuhan lama. Tuhannya leluhur kita! Tak perlu alasan. Husy! Tidur sana!” ucapnya ketus. Ia sudah puas dengan Tuhan yang lama. Walau tak terlihat, namun ia selalu merasa damai ketika ia menyembahnya. Hanya kedamaian dan ketenangan hidup yang ia cari, lain tidak.
Menekur sambil mengunyah Sirumatabulung adalah kebiasaan leluhur yang selalu dilakukan Ayah saat seisi rumah telah terlelap. Kedamaian itu akan mendatanginya di saat-saat seperti ini. Bagaikan berdiri di hadapan kemegahan air terjun Sigura Gura, tak akan mampu ia melukiskan ini lebih jauh. Namun malam ini perasaannya mendadak abstrak. Semakin tak terlukiskan, namun bukan keindahan, ada sesuatu yang lain yang seumur-umur belum pernah ia rasakan. Ia bergidik tiba-tiba.
Dari jarak sekitar seratusan meter terdengar gemuruh suara-suara yang semakin lama semakin memekakkan telinga. Bagai gerombolan macan yang hendak mencari makanan, makanan yang telah disajikan oleh setan-setan dari neraka yang memutuskan untuk turun ke dunia.
Ayah berjongkok mengendap ke balik pintu kayu reot yang berfungsi sekedar penghalang agar babi hutan atau hewan buas lain tak masuk ke rumahnya. Ia berusaha mendengar apa yang orang-orang itu teriakkan. Namun nihil, terlalu banyak mulut yang terbuka dengan kata-kata yang berbeda pula.
Tiba-tiba pintu didobrak dengan paksa, entah oleh apa. Ayah berdiri dan menggigil mendapati seorang lelaki berbadan besar dengan kumis melintang yang melotot di depan mukanya. Ia membawa sebuah kelewang panjang yang ia hentak-hentakkan di atas tanah. Saking kagetnya karena melihat senjata, ayah jatuh terduduk. Kakinya lemas tak mampu berdiri.
“Kau Pekai?!” bentak si kumis sambil mengalungkan kelewang di leher ayah.
“A..a… apa itu? Pe… Pe ... kai?” jawab ayah tergagap. Air kencing mulai mengalir di sela-sela kakinya yang terkangkang.
“Apa agamamu?”
“A... a… Is..., itu Islam!”
“Bangsat! Jawab yang benar!!”
Orang-orang yang berdiri di luar mulai menjengukkan kepalanya ke dalam sambil ikut mengolok-olok si ayah. Teriakan “Bakar! Bakar!” memenuhi udara. Sementara Sipitu dan keluarga—termasuk si monyet—mulai meraung-raung beberapa meter di belakangnya.
“Siapa Tuhanmu! Pukileknya ini!” Sebuah seruan kasar terlontar dari belakang tubuh si kumis.
“Tuhanku…“ Ayah berpikir sepersekian detik. Tiba-tiba ia teringat kepada anaknya Sisada dan pemuda-pemuda kota yang selama ini banyak membantunya. Ia lalu menghembuskan nafas kuat penuh harapan sambil menjawab:
“TUHANKU LISTRIK!!!”
Sirih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H