Mohon tunggu...
Tengku Andyka
Tengku Andyka Mohon Tunggu... Guru - Lakukan hal kecil, bicara dengan tindakan sederhana

"Semua kebenaran di dunia ini harus melewati tiga langkah. Pertama, ditertawakan, kedua ditentang dengan kasar, dan ketiga diterima tanpa pembuktian dan alasan" (Arthur Schopenhauer)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anarkisme Pelajar, Harry Potter dan Telaah Multikultural

21 September 2011   23:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:45 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Peristiwa anarkis antara wartawan dan pelajar SMA 6 Jakarta sejatinya menjadi perhatian besar bangsa ini. Sekolah yang seharusnya sebagai embrio lahirnya generasi santun justru kontras dengan tujuan awalnya. Karakter anarkisme seolah menyatu dalam diri anak didik. Tak heran di Jakarta tawuran pelajar, tawuran antar mahasiswa menjadi tradisi kultural yang sukar dihilangkan. Bakhkan kasus anarkisme pelajar ini tak hanya merambat kota Jakarta melainkan telah masuk dalam skala nasional.Tak dipungkiri akar masalah yang perlu disoroti ialah perihal fanatisme golongan. Atas nama golongan tak tahu pihak yang mana yang benar dan salah sehingga tawuran pun mudah pecah. Sepertinya kita harus belajar banyak dari tokoh Harry Potter yang bijak mengajarkan perihal toleran keragaman.

Beberapa bulan yang lalu seri terakhir Film Harry Potter and The Deathly Halows part 2 telah ditayangkan di bioskop tanah air. Bagi yang telah membaca bukunya mungkin telah mengetahui akhir jalan cerita novel karangan Terlalu panjang jika menceritakan Harry Potter secara keseluruhan. Gagasan tulisan ini hanya ingin membataskan pada satu perspektif. Dalam persepktif penulis ada masalah teramat penting untuk dikaji. Tak sekedar mengulas melainkan sedikit menegur dan mengingatkan kita kembali perihal keragaman. Pada titik inilah tanpa disadari telah menghiasikehidupan manusia. Dan ternyata riak-riak multikultural ini juga telah merasuki ruang masalah dalam cerita Harry Potter.

Seperti diketahui bahwa ada delapan seri tayangan film Harry Potter diantaranya ialah seri The Socerer’s Stone, The Chamber of Secrets, The Prisoner of Azkaban, Goblet of Fire, The Order of The Phoenix, Half Blood Prince, The Deathly Halows part 1 & 2. Berdasarkan pengamatan penulis dari keseluruhan film dan berdasarkan beberapa buku, literatur yang dibaca. Fanatisme golongan menjadi hal yang cukup menonjol dalam cerita Harry Potter. Maka dari itu, menarik kiranya menganalisa dan mengkontekstualkan dalam realitas kekinian.

Keragaman itu sudah dimunculkan pada seri pertama. Pada seri pertama awal mula Harry Potter memasuki tahun pertamanya di sekolah sihir Hogwarts. Berawal dari pemilihan asrama yang dibagi menjadi empat kelas. Kelas asrama tersebut diantaranya Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, Slytherin. Meskipun pada akhirnya Harry Potter ditempatkan di Gryffindor. Tanpa disadari perbedaan dan persaingan kelas inilah dijadikan media ideal dalam hal anti multikultural dan fanatik golongan. Itu terlihat perseteruan panjangnya dengan Draco Malfoy yang notabennya keturunan fanatic Slytherin.

Telah diketahui bahwa berdasarkan sejarahnya sekolah sihir Hogwarts didirikan lebih 1000 tahun. Sekolah tersebut didirikanoleh empat penyihir besar pada saat zamannya. Mereka adalah Godric Gryffindor, Helga Hufflepuff, Rowena Ravenclaw, dan yang terakhir Salazar Slytherin. Dan nama-nama mereka itulah yang menjadi nama kelas bagi murid-murid yang ingin bergabung di Hogwarts. Dari keempat kelas tersebut memang persaingan yang mencolok ialah antara kelasGryffindor dan Slytherin. Gryffindor merupakan kelasnya Harry Potter sementara Slytherin kelasnya Draco Malfoy keluarga pengikut Voldamort.

Benih Fanatisme Golongan

Namun, dalam perjalanannya terjadi perbedaan pandangan bagi keempat pendiri sekolah sihir tersebut. Titik perbedaan itu ketika mempersoalkan masalah kelompok penyihir darah murni (magical blood ) dengan darah campuran (muggle blood). Berdasarkan legendanya dari keempat pendiri itu tiga diantaranya mempunyai pandangan yang sama. Dalam hal ini mereka setuju bahwa siswa yang masuk sekolah Hogwarts bukan hanya keturunan penyihir. Namun, satu pendiri tersebut yakni Salazar Slytherin kurang setuju dengan hal tersebut. Salazar Slytherin lebih setuju selektif memilih siswa yang masuk ke Hogwarts. Slytherin hanya percaya bahwa ilmu sihir hanya bisa diberikan kepada keluarga-keluarga keturunan penyihir dengan kata lain “pure-bloods”. Karena tidak sejalan dengan yang lain maka Slytherin meninggalkan sekolah Hogwarts. Dari sinilah muncul benih kebencian terhadap kelompok darah campuran. Dan itu diikuti oleh beberapa keturunan penyihir yang berasal dari keturunan Slytherin. Mereka adalah kelompok sihir ilmu hitamnya Voldamort. Cerita lengkap ini dapat dilihat pada film seri kedua Harry Potter.

Berdasarkan legenda Slytherin membangun ruang rahasia yang dikenal dengan “The Chamber of Secrets”. Berdasarkan sejarah hanya keturunannya yang mampu membuka ruangan rahasia itu dan melepaskan sesuatu yang ada didalamnya dengan begitu membersihkan sekolah Hogwarts dari mereka-mereka yang dalam pandangannya tidak layak belajar di sekolah itu. Ruangan tersebut sudah sering dicari-cari tapi tidak ditemukan. Menurut legenda ruangan itu hanya berisi sesuatu yang hanya bisa dikendalikan oleh keturunan Slytherin yang konon merupakan sarang seekor monster. Adapun monster yang di dalamnya ialah seekor ular yang bernama Basilisk. Meskipun pada akhirnya Harry Potter dengan keberanian dan pedang Gryffindornyaberhasil membunuhnya.

Tak dipungkiri Voldemort merupakan musuh Harry Potter sekaligus keturunan Slytherin yang fanatik. Di seri The Deathly Halows part 1 ia kembali bangkitdan benih kebencian terhadap darah campuran (muggle) semakin kental. Terlihat ketika Voldemort berhasil menangkap tawanan pengajar sekolah Hogwarts. Dialah professor CharityBurbage pengajar tentang muggle (darah campuran). Burbage percaya tidak adanya perbedaan antara darah murni dan darah campuran. Baginya campuran darah murni dan muggle bukan suatu kebencaian melainkan suatu yang harus didukung.Namun, ajaran tersebutlah yang dibenci Voldemort. Dan Burbage pun dibunuhnya di depan kelompoknya dengan sihir yang mematikan.

Tindakan jahat kelompok Voldemort tak sampai disana. Membunuh menteri sihir yang baru dan menguasai kementerian melalui orang terdekatnya adalah alternatif licik yang dilakukan. Tujuan tidak lain ialah ingin menggunakan kekuasaan untuk melawan Harry Potter dan mendiskriminasikan kelompok muggle. Tidak hanya itu media harian Daily Prophet pun ia kuasai sebagai penyebaran benih kebencian terhadap musuhnya.

Parahnya lagi kekuasaan yang ia dapatkan kementrian sihir dengan mempengaruhi lewat kebijakan kontroversial. Bahwa sihir hanya bisa diturunkan oleh keturunan penyihir jika tidak terbukti memiliki leluhur penyihir maka akan dituduh mencuri. Bahkan Kementrian dibawah pengaruhnya pun sempat membentuk komisi baru yang diberinama komisi Registrasi Kelahiran Muggle. Tujuan komisi ini pun tidak mulia yakni hanya ingin mendeteksi siapa-siapa saja penyihir yang keturunan muggle. Dengan demikian menjadi alibi yang kuat untuk menyingkirkan mereka.

Refilosofi Multikultural

Diskursus multikuktural menjadi hal permanen yang sukar dihilangkan. Tidak hanya dalam dunia nyata saja melainkan dalam dunia sihir pun terjadi. Pesan moral yang disampaikan oleh Harry Potter sejatinya menjadi pengingat ulang bagi kita. Perbedaan adalah kodrat tak terbantahkan. Kehadiran lantangnya lahir dari goresan takdir Tuhan. Toleransi dan saling menghargai merupakan titik keutamaan perbedaan. Itulah benang merah adab manusia yang hakiki. Nilai rasa dimana menjaga keutuhan kemanusiaan menjadi tujuan bersama. Tanpa itu hidup seakan hambar dan tidak bernilai.

Indonesia telah merdeka setengah abad lebih. Namun, masih saja kita menemukan kasus kekerasan yang membuat wajah kebhinekaan Indonesia ternodai. Apalagi yang menjadi pemicu utamanya ialah masalah intoleransi keragaman. Aksi-aksi anarkhi tawuran antarkampung, pembakaran tempat-tempat ibadah, unjuk rasa berbau anarkhi, atau aksi-aksi vandalistis lainnya. Hal tersebut sudah bisa menjadi bukti betapa keberagaman menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini. Bahkan Laporan Setara mencatat peningkatan perihal pelanggaran dalam hal kebebasan beragama cukup meningkat. Mulai di tahun 2007 terjadi 135 peristiwa pelanggaran dengan 285 tindakan, pada taun2008 terjadi 265 peristiwa pelanggaran dengan 367 tindakan, pada tahun 2009 terjadi 200 peristiwa dengan 291 tindakan.

Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep dimana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan agama. Bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya beragam (multikultur). Multikulturalisme baik pada tingkat lokal, nasional, dan global pada umumnya mengedepankan prinsip persamaan dan keadilan. Untuk mewujudkan itu yang dibutuhkan sekarang bukan monomultikulturalisme, bukan pembauran tapi pembaruan, bukan koeksistensi tapi pro eksistensi, bukan eksklusi tapi inklusi, dan bukan separasi tapi interaksi. Pada intinya ini merupakan pandangan perihal realitas keragaman. Sebuah ideologi yang pada prinsipnya mengakui perbedaan dalam kesedrajatan (azra,2007).

Secara historis pun dapat terlihat bahwa modal kultural yang berlebihan akan berdampak negatif bagi umat manusia. Lihat saja pada zaman Nazi di Jerman terlihat modal cultural yang bangun dengan semangat rasisme mengakibatkan penderitaan dan peperangan. Modal kultural seperti inilah yang mesti dicegah dan dihapuskan. Sejatinya modal kultural janganlah cenderung mengikat terhadap suatu komunitas. Apalagi jika keterikatan yang tanpa didasarkan pada etika keberagaman. Tidak heran kesalahpahaman dengan kelompok dan komunitas lain terjadi. Bahkan Fukuyama meletakkan nilai yang sangat besar terhadap “trust”. Hanya dengan kepecayaan yang terpatri dalam pemahaman komunitas menjadikan kelanjutan hidup komunitas lebih baik.

Ranah Pedagogik

Lantas dimana peran pendidikan dan kebudayaan. Pada prinsipnya dalam ranah pendidikan taraf perkembangan kebudayaan dapat dilihat dari tiga fase. Fase pertama ialah askriptif instingtif, dimana pada fase ini fase perkembangan yang tidak dapat mengembangkan kesadaran, biasanya initerjadi pada dunia binatang. Pada fase pertama inilah dapat dikatakan manusia sederajar dengan binatang karena manusia dan binatang memiliki insting. Selanjutnya pada fase kedua ini tingkatan derajat manusia sedikit di atas binatang. Fase ini disebut perkembangan deskriptis rasional dimana adanya perkembangan bahasa sebagai simbol. Manusia dalam hal penggunaan bahasa lebih dari binatang. Pada fase ini perkembangan simbol-simbol bahasa tertulis lebih meningkatkan kemampuan rasio manusia dalam membangun kebudayaannya.

Fase ketiga ialah perkembangan moral manusia sejalan dengan perkembangan kesadaran akal dan rasionya sehingga manusia mengenal nilai-nilai baik dan buruk dan kesadaran transedental terhadap nilai-nilai ke- Tuhan-an. Dapat dilihat dari tahapan fase dalam perkembangan kebudayaan manusia bahwa moral ialah menjadi nilai tertinggi dalam adab manusia. Eksistensi multikultural yang tak lepas dari ragam kaya budaya sudah semestinya mampu berujung pada peradaban moral yang baik. H.A.R Tilaar memandang inti pendidikan multikultural ialah semangat kohesi sosial mengikat kesatuan bangsa yang merupakan modal sosial dan kultural (Tilaar,2009).

Fokus dan keutamaan sekolah ialah pada pengembangan intelektual dan moral. Pengembangan ini tak dapat dipisahkan apalagi diabaikan. Oleh karena itu pandidikan karakter di dalam sekolah memiliki sifat bidireksional, yakni pengembangan kemampuan intelektual dan kemampuan moral (Koesuma,2010). Minimal dua arah pengembangan itulah dijadikan pijakan utuh terhadap intelektual dan integritasnya sebagai pribadi yang berkepribadian kuat. Inilah yang mesti ditumbuh kebangkan dalm pendidikan formal.

Kembali ke Harry Potter, ternyata wujud toleran keragaman dia akhir cerita dia buktikan. Dia mempertontonkan sikap toleran kulturalnya kepada anaknya yang bernama Albus Severus Potter. Itu terjadi ketika anaknya yang hendak masuk ke sekolah sihir Hogwarts. Anaknya mempertanyakan kepada Harry Potter perihal bagaimana nanti seandainya dia masuk di kelas Slytherin dan bukan diGryffindor. Tanggapan bijak pun di lontarkannya bahwa dia tidak mempermasalahkan jika pilihan anaknya di Slytherin. Bahkan dia menegaskan bahwa nama anaknya itu salah satu nya diambil dari nama pengajar sekaligus penyihir yang berasal dari Slytherin. Nama Severus anaknya terinspirasi dari nama Severus Snape mantan kepala sekolah Hogwarts yang berasal dari Slytherin. Dia meyakini dengan ketetapan pilihan anaknya itu. Dan sepatah kata pun Harry menyebut Slytherin sebagai musuhnya atau musuh Hogwarts. Bahkan ia menyanjung Slytherin di depan anaknya.

Konklusi

Ruang cerita Harry Potter sungguh menyuguhkan inspirasi luar biasa bagi kita. Minimal banyak nilai-nilai positif yang dapat dijadikan pelajaran. Ada beberapa hal dalam persepktif penulis upaya sejatinya diaplikasikan khususnya dalam bidang pendidikan. Pertama, keluarga sebagai media informal dalam pendidikan dini hendaknya dioptimalkan. Ruang pengajaran dalam lingkup keluarga khususnya perihal pentingnya nilai toleransi kembali dinyalakan guna mengurangi fanatisme terhadap golongan. Tak dipungkiri disinilah awal pondasi anak didik berkembang. Tanggung jawab orang tua dan calon orang tua juga dipertaruhkan. Apakah ada kemauan menerjemahkan konsep pendidikan yang ramah atas perbedaan dan toleran terhadap keragaman pikiran di lingkungan keluarganya. Atau malah justru sebaliknya membunuh karakternya atas nama orang tua dan lebih dewasa.

Roda zaman terus berkembang pesat dan pola pikir seorang anak pun terus bergerak maju.Kedua, adanya integrasi antara kurikulum pendidikan formal dengan kegiatan praktis. Bicara kenyataan ialah bicara teori dan praktik. Tak dipungkiri manusia butuh keseimbangan antara teori dan praksis. Perlu ada sentuhan titik tekan antara tautan makna pengetahuan dengan kehidupan praksis. Inilah yang dalam logika bahasa Yunani disebut dengan bios theoritikos.Mengupayakan adanya integrasi materi pelajaran pada tataran praksis keragaman. Khususnya ini berlaku pada sekolah-sekolah yang rawan potensi tawuran. Tak dipungkiri ajaran yang menitikberatkan pada fanatisme golongan akan berujung perpecahan dan permusuhan. Riak gelombang pemahaman positif itulah yang mesti dimunculkan kepermukaan masyarakat.Semestinya tokoh imaginatif selevel Harry Potter ini dapat dijadikan tauladan. Harry Potter telah membuktikannya tidak baiknya fanatik terhadap kelompok atau suatu golongan tertentu. Jika Harry Potter bisa merdeka dari belenggu fanatisme golongan dan kelompok, lantas mengapa bangsa ini tak bisa juga melakukannya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun