Di jalan, di Apartemen, di Kelapa Gading, Pondok Indah. Jakarta dini hari. Langit merobek dada, tergilas puluhan angka.
Matanya mungil, di bawah Tugu Monas ia berkaca-kaca; menunggu.
Dari balik pagar menghadap Istana.
Berebut angin di bawah kesemakmuran.
Tubuh ringkih, di tangannya sebuah mangkok palstik bertulisakan, lapar
Ibuku seorang pelacur, sedang bapaku tak jelas siapa, sebab mereka berganti-ganti wajah.
Aku di sini, dibesarkan kemaruk jalan. Menyesap puting  halte, berpeluk dengan bahu jalan.
Aku bukan korban, mungkin ibuku tak mengenali siapa bapakku sebenarnya.
"Pak! Benarkah mereka memperistri ibuku sebagi lahan adobsi dan aku menjadi yatim piatu."
Di sana ada yayasan, ada rumah duaffa, aku tak berakte, rumahku tak punya sertifikat. Sebab aku tinggal di mangkok ini.
Mangkok ini negeriku
Di sini perutku bicara
Aku lapar!
Masihkah ada di sakumu untuk aku bertahan di generasi yang akan datang?
Aku tidak hina sebab meminta-minta. Mungkin aku sengaja diadakan untuk keindahan kota. Menjadi bunga trotoar, menjadi kembang jalan juga lukisan di tiang jalan tol.
Hidupku bukan dari tanah merdeka, sebab aku tumbuh dari kepingan rupiah yang jatuh di mangkok ini. Aku pemilik apartemen sah gedung itu, sebab saudaraku menjadi penghuni di dalamnya.
Aku memang pejuang hidup, dari jalan aku merdeka, di mangkok nyawaku berada. Bukan ingin mempermalukan wajah untuk ditonton. Adaku sebiji koin sisa belanja yang jatuh.