Mohon tunggu...
Tengils
Tengils Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kumpulan penikmat aksara

Berkreasi dalam kreatifitas

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Berkaca di Atas Baskom

2 Juli 2020   13:06 Diperbarui: 2 Juli 2020   12:55 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tentang selubuk dada yang mengoyak piramid-piramid di atas pasir.

Ia terkapar di anakan tangga menuju batin, memeluk tangis; kemarau

Ibunya telah lama meninggalkan jejak kehidupan. Sepotong sajak rahim ditinggalkan dalam isaknya.

Terasing sendiri melewati gurun, di antara penyamun dan musafir berwajah masa depan.

Langitnya mendung, dikuasainya seluruh perkakas bumi yang tinggal poros.

Jiwanya makin menciut, bahkan untuk tertawa, ia bersembunyi di balik meja. Melipat seluruh kuasa nadi yang keruh kian membiru.

Rumahnya telah kosong, ia berjalan di kerumunan para peziarah. Mereka semua menyanyikan lagu-lagu tentang ratapan burung prenjak.

Matanya berkunang-kunang. Dipeluknya kemben dan rok panjang milik ibunya yang telah meninggal.

Ia berkaca di atas baskom yang penuh dengan air mata, memandang lekat wajah yang pucat bulan separuh.

Perlahan ia sisir rambutnya yang ikal. Diam sesaat. Seperti ingatannya ketika kecil di pangkuan ibu.

"Nak, di depan sana ada surga, pelajarilah jalan dan arah menuju Arsy. Ingatlah! Sesungguhnya kamu adalah penghuni, jika jalanmu lurus seperti sudut Ka'bah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun