Tentang selubuk dada yang mengoyak piramid-piramid di atas pasir.
Ia terkapar di anakan tangga menuju batin, memeluk tangis; kemarau
Ibunya telah lama meninggalkan jejak kehidupan. Sepotong sajak rahim ditinggalkan dalam isaknya.
Terasing sendiri melewati gurun, di antara penyamun dan musafir berwajah masa depan.
Langitnya mendung, dikuasainya seluruh perkakas bumi yang tinggal poros.
Jiwanya makin menciut, bahkan untuk tertawa, ia bersembunyi di balik meja. Melipat seluruh kuasa nadi yang keruh kian membiru.
Rumahnya telah kosong, ia berjalan di kerumunan para peziarah. Mereka semua menyanyikan lagu-lagu tentang ratapan burung prenjak.
Matanya berkunang-kunang. Dipeluknya kemben dan rok panjang milik ibunya yang telah meninggal.
Ia berkaca di atas baskom yang penuh dengan air mata, memandang lekat wajah yang pucat bulan separuh.
Perlahan ia sisir rambutnya yang ikal. Diam sesaat. Seperti ingatannya ketika kecil di pangkuan ibu.
"Nak, di depan sana ada surga, pelajarilah jalan dan arah menuju Arsy. Ingatlah! Sesungguhnya kamu adalah penghuni, jika jalanmu lurus seperti sudut Ka'bah."