Mohon tunggu...
Dudi Saputra
Dudi Saputra Mohon Tunggu... -

Kota Kesultanan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

John Locke; Antara Epistemologi, Kehidupan Beragama dan Demokrasi.

21 April 2013   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:50 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

John Locke, mungkin bagi beberapa orang tidak asing mendengar namanya, beliau bisa dikatakan sebagai salah filsuf empirisme abad ke 17 inggris yang besar, berbeda dengan Filsuf seangkatannya yaitu Thomas Hobbes yang melahirkan mazhab (baca: paradigma) Realisme, John Locke bisa dikatakan salah satu pendiri dari mazhab Liberalisme klasik.

Dalam pandangan epistemologinya, John Locke berbeda dengan pandangan bapak filsuf modernisme Rene Descartes yang rasionalistik, John Locke mengemukakan bahwa pada diri manusia tidak ada yang namanya idea fitriyah (innate knowledge/pengetahuan yang sudah ada semenjak manusia lahir) sebagaimana yang dipercaya oleh Descartes, John Locke beranggapan bahwa manusia ketika lahir tidak memiliki pengetahuan apapun (tidak memiliki pre-existence knowledge), pengetahuan manusia murni diperoleh melalui pengalamannya yang bergantung pada persepsi inderanya, dari sinilah kita bisa kategorikan beliau seorang empiris.

Sedangkan dari sisi aksiologi yang berkonsekuensi pada weltanschauung (world-view) dan ideologi serta membentuk pola hubungan individu dan masyarakat, John Locke mempercayai pentingnya bentuk pemerintahan yang demokrasi, beliau menolak dengan tegas bentuk pemerintahan Tirani dimana penguasa tunggal menjadi pemegang kedaulatan.

Namun, untuk menghindari bentuk demokrasi yang mengarah ke mobokrasi (pemerintahan oleh gerombolan banyak) yang cenderung merusak dan tidak terkontrol, beliau menekankan pentingnya aspek hukum. Hukum menurut menurut Locke bukanlah paksaan dari satu pihak yang berkuasa, tapi lahir dari kesepakatan/kontrak sosial yang setara (egaliter) dan secara sukarela dan penuh kesadaran oleh masyarakat tanpa tekanan/paksaan.

Dari kontrak sosial ini kemudian masyarakat bersepakat untuk patuh dan taat pada kontrak (konstitusi) yang telah disepakati, yang kemudian menjadi landasan untuk membentuk yang namanya institusi (baca: pemerintahan) yang mengatur dan melindungi hak serta kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat tadi.

Namun berbeda pandangan dengan Hobbes yang menganggap pemerintahan itu harus tunggal, Locke menolaknya dengan anggapan bahwa ini bisa menjadi bentuk pemerintahan yang tiran, kemudian Locke menyarankan pemisahan (separation) pemerintahan, yaitu Legislatif dan Eksekutif.

Kemudian, bagaimana dengan konteks Indonesia, Indonesia yang menerapkan demokrasi langsung pasca orde-baru menghadapi tantangan yang semakin rumit dalam penerapan demokrasinya, silih berganti berita konflik baik horizontal dan vertical terjadi di era penuh keterbukaan dan kebebasan ini.

Demokrasi Indonesia, meminjam terminologi Aristoteles adalah sistem masyarakat yang bukan demokrasi tapi mobokrasi/okhlokrasi, dimana pemerintahan terbentuk atas gerombolan banyak/mayoritas, yang kemudian menjadi landasan oleh pelaksana negara bahwa suarea atau kepentingan mayoritas adalah kebenaran dan pasti berdampak merugikan bagi minoritas.

Sistem mobokrasi berkonsekuensi pada rusaknya tatanan bernegara dan bermasyarakat, dimana masyarakat yang menganggap dirinya mayoritas dan banyak tadi adalah penguasa atas pihak di luarnya yang minoritas dan berhak untuk bertindak sewenang-wenang, begitu pula negara/pemerintah akhirnya mengiyakan perbuatan demikian karena untuk melindungi kepentingan kelompok/gerombolan mayoritas.

Mobokrasi lahir akibat tidak dipatuhinya konstitusi (kontrak sosial) oleh masyarakat dan institusi negara pun tidak berusaha untuk menjalankan dan menegakkannya.

Flashback pada kampanye presiden SBY pada tahun 2003, beliau selalu menekankan pentingnya law enforcement (penegakan hukum) dalam demokrasi, idea awal dari calon presiden yang sekarang menjabat sebagai presiden ini diapresiasi dengan baik, hanya dalam kenyataannya Pak Presiden lebih mendengar dan patuh (baca: takut) pada suara mayoritas yang menyimpang dari konstitusi negara dari pada berusaha untuk menegakkan konstitusi (hukum/kontrak sosial) negara di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun