Mohon tunggu...
Rang94w KawanKewan
Rang94w KawanKewan Mohon Tunggu... -

suka dengan persekutuan dan sejarah ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Topeng (Tari) Monyet Tanpa Monyet

7 Juni 2014   01:33 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:57 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Langkah Jokowi dan Ahok yang mencanangkan Jakarta Bebas Topeng Monyet di tahun 2014 sudah betul. Kebijakan ini harus diperluas ke propinsi lain di Indonesia, agar pembunuhan, trafficking, dan eksploitasi monyet dicerabut dari akarnya. Karena penggunaan monyet dalam Topeng Monyet bukan saja menjadi penyebaran penyakit zoonosis, melainkan berkaitkelindan dengan kejahatan lainnya seperti mempekerjakan anak di jalanan. Hal ini dapat dilihat di beberapa persimpangan lampu merah, kala anak-anak dipaksa memainkan monyet berdandan, monyet berjoget, dengan target setoran sekian puluh ribu per hari. Mencemaskan, saat setoran tidak cukup anak akan dihukum oleh bos mereka, biasanya dihukum dengan tidak mendapatkan jatah makan. Tertular kuman dan sakit dari monyet menjadi resiko yang juga ditanggung anak-anak ini. Karenanya, tindakan Jokowi melarang Topeng Monyet pastilah berefek positif pada anak-anak jalanan ini.

Pada kenyataannya, agar di tahun 2014 Jokowi mampu menghilangkan monyet berkeliaran di jalanan Jakarta, birokrasi di tataran pelaksana juga harus disiapkan. Walau program Jakarta bebas Topeng Monyet telah dimulai jauh sebelum Jokowi menjadi Gubernur, langkah ini belum menjadi perhatian serius pihak pelaksana teknis, dalam hal ini Dinas Peternakan Propinsi DKI. Prosedur yang diperlukan untuk penanganan pasca penangkapan, mulai dari pemeriksaan kesehatan, proses pembentukan kelompok, hingga pelepasan di habitatnya sudah mencukupi. Pemahaman bagaimana menerapkan prosedur sesuai tupoksi dan tindak lanjut nyata dalam anggaran masih belum sejalan. Adalah tugas para pelaksana teknis untuk mengimbangi kelincahan Jokowi, yang telah mengeluarkan kebijakan demi kemaslahatan umum.

Topeng Monyet yang kini menjadi bisnis beresiko tinggi bukan hanya bagi Jakarta. Bila diperiksa ke wilayah di luar Jakarta semisalJabotabek (Jakarta, Bogor (kota), Tangerang, Bekasi), bisa jadi tempat pelarian sementara sambil menunggu Jakarta kondusif kembali. Atau lebih luar lagi ke Sukacebok (Sukabumi, Cianjur, Bogor (kabupaten), Depok), yang juga menjadi asal muasal beberapa monyet tersebut. Pencanangan Jakarta bebas Topeng Monyet di tahun depan menjadi awal yang baik.

Tidak ada yang bagus dari penggunaan binatang dalam pertunjukkan Topeng Monyet. Monyet diambil dari muasalnya dengan cara paksa, dengan cara menjerat bahkan membunuh indukan dengan cara ditembak, agar si anak monyet bisa diambil dan dipindahkan dari habitat alaminya. Dari hutan nan rimbun, sang monyet dibawa ke hutan nan beton di tengah kota. Dilatih dan dipaksa berperilaku seperti manusia sebagai bahan hiburan, bukan untuk menjadi monyet cerdas atau bahkan monyet berbudaya seperti cerita dalam dongeng.

Tidak akan pernah kita temukan monyet menjadi cerdas dengan cara pelatihan yang dilakukan para pawang Topeng Monyet, atau cara apapun. Dan tidak juga anak-anak kita menjadi lebih berbudaya setelah dipertontonkan Topeng Monyet dengan cara menyiksa sang monyet. Anak-anak ini justru akan melihat bagaimana orang dewasa memperlakukan binatang dengan sesukanya, dengan memaksa sang monyet ‘pergi ke pasar’, adegan yang kerap dipertontonkan dalam Topeng Monyet. Dan bila sang monyet tidak juga mau bergerak, pawang akan menarik-narik rantai yang mengikat lehernya, layaknya seorang raja lalim yang memaksa rakyatnya tunduk perintah. Sungguh bukan hiburan yang mendidik, bukan pembentukan karakter yang akan membesarkan sebuah bangsa.

Menolak Budaya Merusak

Bilakah perilaku seperti di atas yang hendak dipertahankan sebagai seni pertunjukkan Topeng Monyet jalanan, sebagai bagian dari budaya masyarakat, bangsa ini hanya akan menjadi bangsa kerdil dalam karakter dan budaya. Budaya ada yang harus dilestarikan, pula ada yang harus dimuseumkan. Peradaban manusia tercipta dari dinamika yang sedemikian, selalu menyesuaikan dengan jamannya. Perubahan yang kerap kali pelan namun pasti ini membentuk budaya baru, lebih segar dan membangun. Melalui para pemuka masyarakat, para guru yang digugu, hingga para nabi membentuk masyarakat dengan memilih dan memilah mana budaya yang bisa lanjut, mana yang tidak mendidik dan dengan berbagai cara distop.

Seadigung dan sesuci apapun, bila budaya sudah tidak compatible dengan jiwa jaman, ia akan dikecam, diasingkan, hingga dilupakan. Seorang yang diakui kaliber kenabiannya seperti Ibrahim mampu mengubah kebiasaan mempersembahkan anak (manusia) untuk Tuhan, diubahnya menjadi mempersembahkan kambing untuk pangan masyarakat. Mungkin suatu saat nanti, jaman akan menolak persembahan binatang apapun, dan mencukupkan dengan ‘menyembelih’ ego untuk kemaslahatan bersama.

Hal ini sejalan dengan manusia sebagai makhluk berbudi, mengambil hikmah dari sebuah cerita, dan tidak mewajibkan sebuah hikayat menjadi acuan perilaku. Dari dongeng Gunung Tangkuban Perahu misalkan, perilaku Sangkuriang yang membunuh Ayahnya (seekor anjing) atau coba menggoda Ibunya sendiri tidaklah menjadi acuan perilaku yang dibudayakan di masyarakat. Cukup menjadi dongeng yang menjelaskan mengapa sebuah gunung bentuknya menyerupai perahu.

Termasuk bagaimana manifestasi dari hikayat Topeng Monyet dalam bentuk lain yang tetap bernilai seni, sebagai bentuk perenungan manfaat dan mudharatnya Topeng Monyet saat ini. Para budayawan Betawi dan masyarakatnya harus merevitalisasi Topeng Monyet dalam bentuk seni yang lain, tanpa meneruskan praktek penyikasaan pada monyet, namun tetap menghibur dan bernilai budaya. Budaya Sisingaan tetap meriah dan menghibur, walau tanpa menghadirkan singa ‘jeledegan’. Sudah bisa dipastikan Gubernur Jokowi akan mengapresiasi bentuk baru Topeng Monyet tersebut, dan memberikan kemudahan dalam hal fasilitas dan peluang bagi para seniman Topeng Monyet yang telah melestarikan budaya dengan benar. Karenanya, Topeng (Tari) Monyet masih bisa dilestarikan, tanpa harus menggunakan dan menyiksa sang monyet.

Tanggapan atas tulisan :

http://www.tempo.co/read/kolom/2013/11/04/876/Jokowi-dan-Topeng-Monyet

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun