Mohon tunggu...
Tengah Malam di Bulan Juli
Tengah Malam di Bulan Juli Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti, Konsultan, Guru, Jurnalis

Tengah Malam di Bulan Juli adalah sebuah novel yang menceritakan tentang seorang peneliti yang bekerja di luar bidang yang dia inginkan. Meskipun begitu, hal itu terpaksa dia lakukan karena pekerjaan yang dia inginkan tidak ada di Indonesia. Namun, kejadian itu tidak memaksa dia untuk menyerah begitu saja. Itulah inti dari novel ini. Cerita mengenai kehidupan peneliti disinggung di novel fiksi ini dengan balutan idealisme melawan realita

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Pengalaman Jadi Guru di Sekolah Internasional dan Pesan Moralnya

10 Februari 2019   10:05 Diperbarui: 22 April 2021   10:56 3277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengalaman menjadi guru sekolah internasional. | Sumber : pexels.com

Kalau mau diskusi tentang nasib guru sebenarnya semua orang sudah tahu akan berujung pada topik yang namanya keuangan. Guru selama bertahun-tahun sudah identik dengan masalah keuangan. Gaji guru kurang terutama pekerja guru honorer. 

Namun, kali ini saya punya sudut pandang lain terkait keadaan finansial seorang guru. Pendapat ini pun juga tidak sekedar teori karena saya sendiri menjadi guru sekolah Internasional dan saya mendapatkan pengalaman yang berbeda mengenai keuangan dan karir. Pengalaman ini juga menjadi salah satu dasar dalam novel "Tengah Malam di Bulan Juli".

Sumber : pexels.com
Sumber : pexels.com
Hal yang terlihat jelas adalah guru di sekolah Internasional biasanya secara bayaran lebih besar daripada jadi guru sekolah nasional. Akan tetapi, bukan berarti saya mempromosikan untuk jadi guru di sekolah Internasional saja karena sebenarnya ada resiko tersendiri ketika anda nantinya mengajar di sekolah internasional. 

Resikonya bisa berupa bertambahnya beban kerja seperti menjadi wali kelas atau kegiatan lainnya. Intinya, bayaran bertambah, beban kerja juga bertambah.

https://www.pexels.com
https://www.pexels.com
Selain itu, resiko menjadi guru sekolah Internasional adalah kita harus rela mengajar lebih dari satu kurikulum terutama untuk kelas 9 dan 12 (Untuk UNAS sehingga mereka harus diajarkan kurikulum nasional). 

Hal ini benar-benar menjengkelkan tentunya karena kadang ada bagian tertentu yang berbeda antara kurikulum internasional dan nasional sehingga harus sering klarifikasi dengan siswa dan berdoa supaya mereka tidak bingung nantinya. 

Karena adanya UNAS, maka biasanya guru lokal harus ngajar pelajaran tambahan sehingga mereka pulangnya lebih telat daripada guru internasional.

"Hah?! Guru Internasional? Maksudnya, Guru asing?"

Ya, guru asing. Jadi, di sekolah Internasional pun biasanya ada guru asing. Mereka bisa berasal dari Asia Tenggara atau daerah lain. Bayaran mereka pun cukup tinggi bisa nyentuh 3 sampai 4 kali UMR tapi mereka cuman ngajar 1 sistem kurikulum saja sedangkan yang lokal harus ngajar 2 sistem kurikulum dengan bayaran UMR. Cukup greget, kan? Pulang telat tapi bayaran gitu-gitu aja.

Sumber : pexels.com
Sumber : pexels.com
Nah, uniknya, saya melihat fenomena yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua dari kejadian yang penuh dengan cobaan ini. Pertama, guru internasional datang ke Indonesia untuk mengajar. Di sini terlihat jelas bahwa perdagangan bebas sudah terasa sampai pendidikan. 

Saya sebagai guru sains pun harus bersaing dengan orang-orang dari Eropa, Asia Tenggara, dan benua lainnya (Guru sosial dan bahasa Indonesia masih lebih baik karena mereka tidak harus bersaing dengan orang Internasional). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun