Kita akan memulai pembahasan pada artikel tentang pengertian dari Non-Engineered Constructions (selanjutnya akan disingkat NEC pada tulisan ini). Dalam bahasa Indonesia NEC diartikan menjadi bangunan/konstruksi nir-rekayasa, agak aneh rasanya dengan terjemahan ini, karena kata "rekayasa" cenderung punya makna negatif sehingga nir-rekayasa seolah bermakna positif padahal justru sebaliknya, karena itu rasanya akan lebih baik untuk tetap menggunakan istilah asing NEC. Masyarakat awam pasti banyak yang kurang familiar dengan istilah NEC, sebenarnya apa NEC itu? NEC adalah bangunan/konstruksi (pada umumnya rumah tinggal) yang dibangun tanpa atau dengan sedikit intervensi dari seorang arsitek atau ahli struktur. Atau dengan kata lain, NEC dibangun oleh penduduk lokal yang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang struktur bangunan sehingga biasanya mereka akan membangun mengikuti kebiasaan atau praktek-praktek umum yang mereka jumpai disekitar lokasi/daerah mereka. NEC sangatlah umum dijumpai terutama di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti berapa banyak NEC di Indonesia namun diperkirakan sekitar dua per tiga atau sekitar 70% dari bangunan di Indonesia adalah NEC, itu merupakan jumlah yang sangat fantastis.
Pertanyaan selanjutnya adalah lantas ada masalah apa dengan NEC? Sebetulnya NEC bukanlah masalah besar jika daerah yang bersangkutan bukanlah daerah rawan gempa. Bangunan rumah tinggal satu atau dua lantai sebenarnya tidaklah begitu sulit untuk dikonstruksi dan jujur saja sebenarnya tidak butuh seorang ahli struktur atau arsitek jika hanya ingin membangun rumah tinggal satu lantai. Namun kasusnya akan berbeda jika rumah tersebut dibangun di daerah rawan gempa, mengapa? Karena perilaku dari beban gempa itu berbeda dari beban yang umumnya kita kenal yaitu beban gravitasi. Pengertian umum yang dimiliki oleh tukang bangunan lokal misalnya saat mengkonstruksi bangunan adalah bahwa rumah akan memikul beban gravitasi yang arah bebannya vertikal dan beratnya bisa mereka bayangkan sehingga seiring dengan pengalaman, mereka akan mampu memahami misalnya untuk rumah satu lantai kolom beton dengan ukuran 15x15 cm akan cukup kuat jika dua lantai ukuran kolom harus diperbesar sedikit, hal tersebut dapat dengan mudah mereka pelajari dan kenyataannya memang begitulah tradisi pewarisan ilmu konstruksi diantara para tukang bangunan lokal yang sama sekali tidak pernah secara khusus mempelajari tentang struktur bangunan.
Namun masalahnya akan menjadi berbeda ketika kita memperhitungkan beban gempa, apa perbedaannya? Pertama arah beban bukan vertikal melainkan horizontal, kedua arahnya bolak-balik ke kiri kemudian ke kanan, dan ketiga beban itu bekerja dalam satu waktu dengan intensitas yang besar bagai suatu "tinju" ke bangunan. Mari kita bahas satu per satu, pertama mengenai arah beban gempa, ini sangat sederhana, bayangkan sebuah balok kayu dengan ukuran 10x10 cm panjangnya 1 m Anda letakkan di atas lantai bagaikan sebuah kolom bangunan, kemudian Anda coba menekannya dari atas ke bawah mampukah Anda menjatuhkannya? Kemungkinan tidak jika Anda tidak cukup kuat, namun jika Anda mendorongnya ke kiri atau ke kanan akan sangat mudah untuk menjatuhkannya bukan? Seperti itulah beban gempa yang bisa dengan mudah merobohkan kolom bangunan yang pada prinsipnya dibangun untuk menahan beban arah vertikal bukan horizontal. Kedua tentang arah gempa yang bolak-balik, ini berkaitan dengan kekuatan material, material yang umumnya digunakan untuk NEC seperti batu bata dan beton, adalah material yang cukup kuat jika ditekan namun akan rapuh kalau ditarik, untungnya arah gravitasi selalu ke bawah atau selalu menekan bangunan, namun tidak demikian dengan gempa, bayangkan Anda sedang berdiri kemudian teman Anda mendorong Anda ke kanan maka kaki kanan Anda akan tertekan ke bawah menahan beban tubuh Anda namun kaki kiri Anda akan terangkat ke atas bukan? Demikianlah beban gempa yang bersifat bolak-balik ini akan menekan dan menarik dua sisi bangunan secara bergantian dan sisi yang tertarik akan mudah hancur karena material pembuatnya pada dasarnya tidak kuat menahan tarikan. Ketiga adalah pelepasan beban dalam jumlah besar secara bersamaan, ini sangatlah berbahaya, ketika dikontruksi, suatu bangunan pada dasarnya akan diberi beban gravitasi secara perlahan sehingga jika bebannya terlalu besar maka akan timbul retakan misalnya, retakan ini menjadi pertanda bahwa bangunan mungkin tidak kuat sehingga bisa segera diperkuat, ini bisa dilakukan jika bebannya adalah beban gravitasi yang memang sudah bekerja sejak proses kontruksi, namun akan berbeda halnya dengan beban gempa yang arahnya 100% berbeda dan mendorong bangunan dalam satu waktu bagai sebuah tinjuan. Jika teman Anda mencubit Anda berkali-kali, Anda akan merasakan sakit sedikit demi sedikit hingga mungkin Anda tidak mampu menahannya kemudian Anda meminta teman Anda untuk menghentikannya, demikianlah beban gravitasi pada bangunan, namun jika Anda meminta teman Anda untuk meninju Anda sekali saja sekuat tenaga maka pilihannya hanya dua Anda mampu bertahan atau Anda roboh, demikianlah beban gempa, dan karena kenyataannya pada umumnya NEC lebih lemah daripada beban gempa maka yang akan terjadi adalah bangunannya roboh. Inilah yang sangat berbahaya, karena kemungkinan besar akan menimbulkan korban jiwa.
Di Indonesia, terdapat dua jenis NEC yang umumnya kita jumpai. Pertama adalah bangunan tradisional atau rumah adat, yang pada umumnya terbuat dari kayu dan memiliki ciri khas di tiap-tiap daerah, dan yang kedua ada rumah tembokan sederhana dari batu bata (selanjutnya kita sebut 'rumah tembokan bata'). Jenis kedua merupakan yang paling populer saat ini, mengingat hampir tidak ada lagi masyarakat yang membangun rumah adat sekarang ini. Selain itu, jika dibandingkan dengan rumah adat yang berbahan dasar kayu, rumah tembokan bata lebih kokoh menghadapi hujan dan angin serta tidak mudah terbakar sehingga memang menjadi pilihan utama saat ini. Jika ditinjau dari sejarahnya, rumah tembokan bata ini mulai diperkenalkan saat jaman penjajahan Belanda dan paska kemerdekaan seiring dengan meningkatnya penghasilan masyakarat maka rumah tembokan bata menjadi semakin banyak diadopsi hingga sekarang menjadi praktek umum dalam konstruksi rumah tinggal. Masalahnya adalah, negeri Belanda tidak rawan gempa, sehingga konsep konstruksi rumah tembokan bata yang diadopsi dari Belanda sama sekali tidak memperhatikan aspek ketahanan terhadap gempa dan ini terbawah hingga sekarang meskipun sebenarnya selain metode konstruksi ada masalah lain lagi berkaitan dengan NEC di Indonesia yaitu rendahnya kualitas material konstruksi dan rendahnya kualitas pengerjaan oleh tukang bangunan lokal. Hal-hal tersebutlah yang pada akhirnya menyebabkan keruntuhan NEC ketika diterjang gempa tidak terelakkan.
Berita baiknya adalah ternyata rumah tembokan bata sederhana bisa dibuat tahan gempa. Dari hasil eksperimen yang dilakukan Pak Teddy Boen [lihat Referensi] telah berhasil dibuktikan bahwa jika rumah tembokan bata dibangun menggunakan material dengan kualitas yang baik, dengan pengerjaan yang baik, dan dengan menyisipkan prinsip rumah tahan gempa ternyata rumah tembokan sederhana pun mampu untuk menahan beban gempa tanpa runtuh sehingga timbulnya korban jiwa dapat dihindarkan. Dari sini terlihat bahwa permasalahan konstruksi rumah tahan gempa di Indonesia dapat kita bagi menjadi dua bagian. Pertama adalah peningkatan kualitas material bangunan dan kualitas pengerjaan, masalah ini sangat umum dihadapi oleh NEC karena ternyata supply material yang beredar di pasaran tidak terlalu bagus terutama batu bata, batu bata yang digunakan untuk konstruksi NEC, kekuatannya bisa bervariasi dan ukurannya tidak standar, selain itu masalah pengerjaan yang kurang baik juga umumnya dijumpai, bisa jadi karena memang kualitas pekerja konstruksi di daerah yang sangat rendah, masalah ini diantaranya, proses pencampuran beton yang kebanyakan air sehingga beton menjadi rapuh dan pemasangan bata yang tidak rapi. Kedua adalah pengetahuan tentang metode konstruksi rumah tembokan bata yang tahan gempa, untuk masalah ini dibutuhkan usaha keras untuk terus mendidik tukang-tukang bangunan lokal hingga mereka betul-betul memahami metode yang tepat untuk membuat rumah tembokan bata menjadi tahan gempa. Yang perlu digarisbawahi adalah, biaya konstruksi sebenarnya bukanlah masalah besar, bahan yang diperlukan nyaris sama saja jumlahnya baik dibuat tahan gempa ataupun tidak, hanya eksekusinya yang berbeda. Namun tentunya proses penyebaran pengetahuan tentang konstruksi rumah tembokan bata tahan gempa ini membutuhkan waktu, karena pada prakteknya tidak semudah itu untuk mengajarkan mandor dan tukang bangunan lokal, karena perubahan-perubahan metode konstruksi yang perlu dilakukan sering kali sangat detil sehingga tidak heran jika tidak diawasi oleh ahli maka detil konstruksi yang penting itu akan dapat dengan mudah dilewatkan oleh para pekerja-pekerja di lapangan.
Penjelasan di atas berhubungan dengan proses kontruksi rumah baru, lantas bagaimana dengan rumah (NEC) yang sudah terbangun apakah perlu diruntuhkan dulu kemudian dibangun baru lagi menjadi tahan gempa? Tentu saja tidak, dalam disertasinya [lihat Referensi] Pak Teddy juga menawarkan metode perkuatan NEC (atau yang lebih dikenal dengan nama retrofitting) yang sederhana dan mudah diajarkan kepada pekerja lokal sekalipun. Rumah yang sudah terbangun dapat diperkuat sehingga menjadi tahan gempa, biaya perkuatan itu pun tidak mahal, berdasarkan pengalaman Pak Teddy, biayanya sekitar 15-20% dari biaya konstruksi bangunan baru. Jadi misalnya biaya yang kita butuhkan untuk membangun suatu rumah tembokan bata baru (tidak termasuk harga tanah, hanya harga bangunan saja) sekitar 100 juta rupiah, maka diperkirakan biaya perkuatannya tidak akan melebihi 20 juta rupiah. Dengan begitu, selain membangun rumah yang baru, perkuatan atau retrofitting juga dapat menjadi solusi alternatif untuk mencegah NEC runtuh saat terkena gempa.
Gempa itu seperti teroris, mereka berbahaya, tapi para teroris tidak akan bisa membunuh tanpa senjata, tanpa bom, tanpa senapan, dan sebagainya. NEC adalah senjata bagi gempa!! Praktek NEC di daerah rawan gempa, tanpa disadari oleh penghuninya, ternyata bagai proses menyediakan senjata bagi para teroris. Membangun NEC di daerah rawan gempa sama saja dengan menyediakan senjata untuk merenggut nyawa kita dan keluarga kita sendiri. Sayangnya, kita yang hidup di negara berkembang tidak menyadari hal itu dan kadang-kadang bagi sebagian orang karena kesulitan ekonomi, mereka pun terpaksa mengabaikan kenyataan itu.
Referensi:
Boen T. (2014). Challenges and Potentials of Retrofitting Masonry Non-Engineered Construction in Indonesia. Doctoral Dissertation, Kyoto University.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H