Tulisan berikut sebagian besar bersumber dari brosur “Politik” bagian IV dan V, salah satu dari trilogi brosur yang ditulis Tan Malaka akhir tahun 1945. Banyak yang berpendapat bahwa trilogi brosur Tan (Politik, Ekonomi Berjuang, dan Muslihat) adalah tandingan dari “Perjuangan Kita” Sutan Sjahrir yang sudah lebih dulu terbit pada 10 November 1945, tidak heran banyak yang berpikir demikian karena pada akhirnya kedua toko tersebut menjadi toko sentral dalam perjuangan paska kemerdekaan. Sjahrir yang menduduki posisi sebagai Perdana Menteri dengan jalan “diplomasi berunding” pada saat itu mendapat tentangan kuat dari kelompok oposisi Persatuan Perjuangan di bawah pimpinan Tan Malaka yang lebih mengedepankan “diplomasi bambu runcing”.
Berbeda dengan tulisan Tan pada umumnya, trilogi brosur Politik, Ekonomi Berjuang, dan Muslihat disajikan dalam bentuk “dialog” antara 5 orang yang mewakili golongan-golongan rakyat Indonesia saat itu yang mungkin masih berlaku sama hingga saat ini. Kelima golongan tersebut adalah kaum inteligensia, pedagang kelas menengah, kaum ningrat, kaum tani, dan buruh besi. Pertentangan golongan, itulah corak utama yang ingin ditonjolkan Tan dalam trilogi brosur tersebut. Kelima golongan tersebut jelas punya tujuan yang sama yaitu mempertahankan kemerdekaan namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing dari mereka juga punya kepentingan sendiri-sendiri oleh sebab itu diskusi untuk menyatukan semua kepentingan harus dilakukan. Tulisan ini tidak merangkum keseluruhan brosur melainkan fokus pada bagian IV dan V brosur Politik yang secara khusus membahas tentang birokrasi, aksi parlementer dan aksi murba.
Apa yang anda ketahui selama ini tentang birokrasi? Mungkin sebagian orang berpikir bahwa birokrasi adalah suatu sistem administrasi yang rumit namun dibutuhkan untuk menjalankan suatu negara, pasti tidak sedikit juga yang berpikir bahwa birokrasi adalah sesuatu yang merepotkan dan menghambat. Tan pun sudah berpikir demikian tentang birokrasi, menurut Tan birokrasi memang perlu untuk mengurus segala administrasi negara yang rumit namun lama-kelamaan akibat pengaruh kapiltalisme birokrasi tersebut menjadi badan yang terpisah dari rakyat dan dipakai sebagai alat oleh kaum kapitalis untuk menindas kaum pekerja dan semua gerakan rakyat murba yang membahayakan kekuasaan dan kekayaan kaum kapitalis, mengapa bisa demikian? Lebih lanjut Tan menjelaskan bahwa dalam suatu negara dengan puluhan juta penduduk pasti terdapat banyak sekali jabatan dalam pemerintahan seperti pertahanan, perekonomian, perhubungan, keuangan, penerangan, pendidikan, dan lain-lain, setiap cabang dalam pemerintahan juga memiliki banyak sekali ranting dan bahkan anak ranting.
Semua ranting berpusat ke cabang dan semua cabang berpusat ke pemerintah pusat, akan menjadi celaka bila yang berada di bawah tidak diberi hak untuk mengambil keputusan atau tidak berani mengambil tanggungjawab untuk memutuskan sehingga semua keputusan harus berasal dari atas sampai bertimbun-timbun perkara yang harus diputuskan. Jika demikian maka administrasi itu akan menjadi Berat-Kepala (topheady) karena semua putusan mesti datang dari atas maka semua putusan sangat mungkin terlambat datangnya, tindakan yang mesti dijalankan cepat mesti ditunda karena menunggu putusan, bahkan tindakan itu terpaksa ditunda selamanya, karena tidak akan berhasil lagi kalaupun dijalankan, sudah terlewat momentumnya.
Namun tentunya tidak semua putusan ditunda, melainkan ada putusan yang didahulukan, kenyataannya di negara kita sekarang untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam birokrasi sangatlah sulit, mereka yang berpendidikan dan punya jaringan kuat biasanya lebih diutamakan, disinilah permainan dimulai. Ketika seluruh pos-pos penting di birokrasi sudah dikuasai oleh kaum kapitalis maka semua urusan yang berkaitan dengan kepentingan pemilik modal akan menjadi mudah sebaliknya semua yang menyangkut kaum pekerja dan rakyat biasa akan disabotase.
Di bagian selanjutnya Tan membahas mengenai Aksi Perlementer dan Aksi Murba sebagai cara untuk meruntuhkan birokrasi. Dalam aksi parlementer, kaum pekerja atau rakyat murba berusaha untuk merebut kursi lebih banyak dalam parlemen agar bisa membuat undang-undang yang menguntungkan kaum pekerja. Ada dua halangan dalam cara ini, pertama adalah merebut kursi lebih banyak dalam parlemen adalah sesuatu yang sangat sulit sebab dalam pemilihan umum yang berteriak dan memuja-muja para calon wakil di zaman kapitalisme ialah “uang”. Siapakah yang bisa mengirim propaganda ke kota dan pelosok? Tentu kaum kapitalis. Siapa pula yang bisa menyewa gedung besar buat rapat? Mempunyai surat kabar, majalah, radio, sandiwara, buat memuji-muji calon sendiri dan mencemooh lawan? Tentu kaum yang berduit, para borjuis-kapitalis.
Itulah halangan pertama, sekarang bisa saja kita anggap bahwa halangan pertama berhasil dilewati misalnya karena dalam sistem presidensial di negara kita sekarang posisi Presiden dan beberapa kepala daerah sudah berhasil dikuasai oleh orang yang memihak pada rakyat jelata, namun halangan kedua belum tentu bisa dilewati, apakah halangan kedua itu? BIROKRASI! Meskipun posisi pimpinan sudah dikuasai oleh seorang yang berpihak pada rakyat, namun jika birokrasi seluruhnya masih dikuasai oleh kaum kapitalis maka tidak ada artinya, karena birokrasi tetap dibutuhkan untuk menjalankan suatu pemerintahan.
Jika kaum kapitalis kalah dalam parlemen atau dalam perebutan kursi presiden maka ia akan meminta tolong pada tukang sulap yang tidak kelihatan dalam administrasi yaitu para birokrat yang juga berasal dari kaum kapitalis untuk mensabotase kebijakan yang berpihak pada rakyat, para birokrat tentunya akan dengan senang hati membantu karena jarang ada manusia yang mau menghukum mati dirinya sendiri. Begitulah sesungguhnya birokrasi bentukan kaum kapitalis bagai ular bekepala sepuluh yang melilit kaum pekerja dan rakyat murba.
Reformasi birokrasi bukan tidak mungkin untuk dilakukan, namun kenyataannya itu sangatlah sulit dan penuh dengan ketidakpastian. Sekarang kita umpamakan bahwa pemimpin yang berpihak pada rakyat jelata berhasil memenangkan pemilihan dan berencana menjalankan reformasi birokrasi selama masa jabatannya (5 tahun), jika ia cukup cerdas maka mungkin reformasi bisa dijalankan dengan cepat namun jika tidak maka selama masa pemerintahannya seluruh kebijakannya akan disabotase oleh birokrasi sehingga program-programnya banyak yang gagal, hal ini akan dimanfaatkan oleh kaum kapitalis untuk menjatuhkannya dalam pemilihan berikutnya. Dalam pemilihan berikutnya ia akan kembali berhadapan dengan kekuatan propaganda media dan politik uang kaum kapitalis, jika ia menang maka reformasi birokrasi bisa dilanjutkan namun jika kalah maka restorasi birokrasi ke kaum kapitalis yang akan terjadi.
Tan berpendapat bahwa untuk merebut kekuasaan dari kaum kapitalis di satu negara tidak cukup hanya dengan menguasai parlemen atau posisi presiden melainkan harus diikuti pula dengan menghancurkan seluruh birokrasi yang dikuasai kaum kapitalis dan menggantinya dengan yang baru, dan untuk melakukan itu menurut Tan, Aksi Murba harus diwujudkan. Simpelnya aksi murba sesuai dengan prinsip massa actie Tan karena pada dasarnya aksi massa didasari oleh kesadaran dari seluruh rakyat yang tertindas untuk memperjuangan hak-haknya, sehingga aksi massa atau aksi murba itu tidak hanya berlaku dalam perjuangan merebut kemerdekaan namun pada saat negara dikuasai oleh golongan kapitalis pun aksi murba dapat dilakukan, Revolusi Rusia tahun 1917-1921 misalnya dilakukan untuk meruntuhkan kekuasaan Tsar.
Aksi murba sangat rentan disalahartikan sebagai pemberontakan yang berujung dengan pertumpuhan darah sehingga orang-orang cenderung enggan untuk melakukannya, namun sesungguhnya aksi murba adalah aksi bersama seluruh rakyat yang didasari oleh kesadaran dari dalam diri untuk menentang penindasan, bentuk aksi dan skala aksi bisa bermacam-macam, dalam masa perjuangan kemerdekaan misalnya, aksi bisa berupa boikot dan pemogokan seperti yang dilakukan kaum buruh di beberapa kota, di masa sekarang aksi kecil dapat berupa demonstrasi damai, golput bersama, atau pengumpulan KTP untuk calon independen, sedangkan aksi besar dapat berupa permintaan referendum untuk mewujudkan reformasi konstitusi dan sistem pemerintahan.