cerpen dari beberapa media cetak. Tak terlalu banyak, hanya menyisakan kecewa. Sebagai pembaca, aku belum merasakan adanya perasaan terhadap karya sastra tersebut. Dan itu baru terfikirkan olehku akhir -- akhir ini.
Hari ini sempat membacaBukan aku yang naif. Beberapa teman penikmat sastra juga mengeluh hal yang sama. Sastra Indonesia sudah tidak berseni lagi. Bahasa digunakan memang beberapa ada yang liar dan menarik, hanya dari segi alur terlalu biasa. Atau sudah bahasanya biasa aja , ceritanya juga biasa aja. Tapi masuk ke media cetak yang terkenal susah tembus.
Sudah lama aku menikmati cerpen dari media cetak. Bahkan dari SD, kebiasaan orang tua membeli koran setiap hari minggu hanya untuk membaca kolom sastra. Memang cerpen kala itu sulit dipahami sebagai anak kecil, tapi alurnya masih terkenang sampai sekarang.
Cerpen tentang malaikat maut mencintai wanita yang akan dicabut nyawanya, tentang sebuah keluarga (Keluarga Z), atau sumur ajaib dimana bisa memberikan kebahagiaan namun orang itu akan menghilang.Â
Semua penuh dengan imajinasi, tidak nyata dan orang yang membacanya harus menebak -- nebak pesan didalamnya. Bahasa yang disampaikan juga kaya, banyak dari kosakata tidak awam.
Bagaimana dengan Cerpen yang semakin vulgar kian hari ?
Ini juga menjadi permasalahannya. Banyak sekali cerpen di media massa atau media cetak dengan terang -- terangan berbicara tentang pornografi. Yang kemudian dikemas dengan bahasa  "berseni".Â
Ya memang seni itu bebas. Tapi jangan sampai sebagai penulis di era ini menurunkan derajat para sastrawan kuno yang sangat menjunjung tinggi kesucian nilai seni.
Mungkin saja, ini karena pembaca mayoritas lebih tertarik dengan cerita yang berbau pornografi. Lebih menantang dan penuh dengan fantasi. Mungkin juga lebih aman dilakukan dimana saja dibanding harus melihat videonya.
Kembali lagi pada pokok pertanyaan cerpen yang "biasa" sudah menjadi kesukaan. Kalau boleh memberi pendapat, mungkin sastra Indonesia sudah terpolitisasi. Bukan murni untuk seni, tapi karena adanya kepentingan lain didalamnya.
Kepentingan keuntungan yang besar, melihat karakter baca masyarakat Indoensia. Bisa saja  secara umum, sudah tidak mau berfikir hanya untuk sebuah sastra.Â