Sebuah perjuangan perubahaan memerlukan seorang pemimpin yang mampu memimpin hingga terwujudnya perubahaan tersebut. Maka selayaknya pemimpin tersebut menjadi pemimpin dari wujud perubahaan yg dijanjikannya pada saat memperjuangkan perubahaan tersebut. Namun, bila setelah terjadi perubahaan namun pemimpin tersebut ditendang sehingga kepemimpinan malah diambil alih oleh orang yang tidak pernah sama sekali ikut serta dalam perjuangan perubahaan itu, apakah pantas hal itu terjadi?? Bila hal itu terjadi apakah perubahaan itu akan terjadi??
Bagaimana ketika soekarno-hatta yang memperjuangkan kemerdekaan RI juga mengalami hal yang sama dengan hal yang dialami GT-AP??? Bagaimana bila hasil KMB memutuskan bahwa PBB memberikan hak kemerdekaan pada NKRI dan disuruh melakukan pemilu dimana pihak soekarno-hatta dilarang untuk mencalonkan diri karena dianggap sebagai pemimpin yang memprovokator sehingga terjadinya perperangan kemerdekaan tersebut. 365 tahun bangsa Indonesia dijajah, dari awal penjajahan hingga akhirnya merdeka banyak pejuang-pejuag yang berperang untuk kemerdekaan namun hal tersebut tidak berhasil karena tidak adanya pemimpin yang mampu menyatukan rakyat Indonesia untuk berjuang bersama-sama. Soekarno-hatta mampu menjadi pemimpin yang menyatukan semua rakyat Indonesia hingga Indonesia merdeka. Andai Soekarno-Hatta dilarang untuk ikut mencalonkan pada pemilu oleh pihak PBB, lalu pendukung Soekarno-Hatta memperjuangkan supaya bisa ikut pemilu, apakah bisa kita katakan bahwa Soekarno-Hatta tamak akan kekuasaan?? Tidak kan...
PSSI, mulai dari kisruh pertama kali hingga akhirnya turunnya nurdin halid. Mulai dari banyak protes-protes namun hal tersebut tidak mampu untuk terjadi perubahaan pada PSSI pimpinan Nurdin Halid. GT-AP mampu menjadi pemimpin perubahaan untuk PSSI hingga akhirnya turunnya nurdin halid. GT-AP mampu menyatukan pemilik suara hingga terbentuk kelompok 78. FIFA yang mengetahui bahwa kekuasaan nurdin halid tidak mungkin bisa bertahan lama akhirnya memutuskan untuk membentuk komite normalisasi dan menurunkan nurdin halid dkk dan menolak ke 4 nama yg diajukan komite banding utk mencalonkan diri. Dari keputusan ini saja dapat dilihat kearogannya FIFA, FIFA ingin menunjukkan bahwa yang bisa menurunkan nurdin halid cuman  FIFA, tanpa FIFA yg memutuskan maka nurdin halid tidak bisa turun. Dengan menolak GT-AP, FIFA menunjukkan bahwa hanya FIFA yang berhak menentukan nasib sepak bola di Indonesia. Selain FIFA semua tidak bisa. Pada saat itu pula orang-orang yang sebelumnya tidak pernah berjuang untuk perubahaan mulai berebut untuk menjadi ketua, dengan alibi bahwa mereka juga bisa melakukan perubahaan bukan hanya GT-AP dan mulai bersuara bahwa kubu GT-AP hanyalah haus kekuasaan saja. Hal yang patut ditanyakan pada mereka-mereka yg mencalonkan diri, ketika orang teriak2 untuk perubahaan PSSI, dimana mereka??? Menurut saya, sangatlah pantas pendukung GT-AP berjuang mati-matian membela GT-AP.
Komite normalisasi akhir-akhir ini mulai menggunakan taktik yang digunakan kubu Nurdin halid dengan mengancam bahwa FIFA akan menghukum PSSI. Kurasa sudah saatnya PSSI berdaulat sendiri dengan tidak menjadi boneka FIFA yang suka mengancam2. PSSI berhak menentukan nasibnya sendiri, PSSI berhak maju. Andai PBB dahulu mengancam akan mengisolasi dan tidak mengakui kemerdekaan NKRI bila Soekarno-Hatta mencalonkan diri, apakah rakyat Indonesia pada zaman dlu akan mendengarkan PBB?? Kurasa rakyat Indonesia pada zaman dahulu akan memilih NKRI diisolasi daripada negara kita didikte pihak asing.
Terima Kasih..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H