Satu per satu titik air jatuh di balik kaca jendela, menciptakan melodi hujan yang menenangkan jiwa. Apa pun yang terjadi aku tidak pernah membenci hujan, yang kubenci adalah situasi. Biasanya di waktu ini aku sudah dalam perjalanan pulang, berdiri berdesak-desakkan di dalam bus kota yang penuh dengan bau tak sedap. Tapi kali ini karena tidak membawa payung, aku terpaksa menunggu hujan reda di sebuah kafe.
Untungnya aku tidak sendiri. Seorang lelaki datang dan meletakkan secangkir kopi di meja. Warna hitam kopinya sangat mencolok bila dibanding dengan kemeja putih yang dia kenakan.
"Black Coffee," dia menjawab sebelum aku sempat bertanya jenis kopinya.
Kami sama-sama korban dari situasi, menghindari titik-titik air di luar yang turun dengan deras. Setidaknya alasan itu yang dia katakan sebelum menemaniku di kafe ini.
Suasana damai yang entah kenapa membuatku sedikit gugup. Kencan? Sepertinya bukan. Aku yakin dia sama sepertiku, hanya memikirkan kapan hujan reda. Dia meneguk kopinya setelah aku menyesap susu hangat milikku.
“Suka Black Coffe?” Aku tidak menyangka dia bisa menegak minuman pahit itu dengan nikmat. “Bisa membuatmu tidak tidur nanti malam.”
“Hanya suka warnanya.”
“Apa hubungannya? Warna tidak menunjukkan rasa atau kasiat.”
Dia meletakkan cangkir kopinya. “Apa yang kau pikirkan bila mendengar kata ‘hitam’?”
Aku sama sekali tidak menduga dia akan balik bertanya. Apa dia selalu memilih makanan atau minuman berdasarkan warna?
“Entah. Mungkin salah satu jenis warna. Kau sendiri? Apa yang kau pikirkan?”
“Banyak.”