Mohon tunggu...
tempe bongkrek
tempe bongkrek Mohon Tunggu... -

saya Hobby baca kompas

Selanjutnya

Tutup

Money

Pajak Warteg, Mimpi Buruk Kaum Urban?

2 Februari 2012   05:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:09 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

pengusaha warteg tersentak, pelanggan warteg tersedak.Setelah mendengar kabar, warteg akan dikenakan pajak restoran dan rumah makan.Seperti tertuang dalam Revisi Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran. Dalam revisi peraturan daerah itu tertuang bahwa batas tidak kena pajak adalah rumah makan yang memiliki omzet kurang dari Rp 200 juta per tahun ( Tempo.co, 1 feb 2011)

Dari sisi pengusaha warteg, pasti tidak ingin penghasilannya dikurangi karena harus membayar pajak.Dalihnya yaitu konsumen warteg mayoritas adalah kelas menengah ke bawah, sehingga secara tidak langsung menambah beban hidup rakyat kecil.Karena dengan dikenakan pajak otomatis akan menaikkan harga jual makanan yng dijual.

Dari sisi konsumen sudah jelas, tidak menginginkan harga beli makanan di warteg naik, yang secara langsung berpengaruh padakeuangan keluarga.

Dari potensi keresahan yang ditimbulkan oleh adanya perda edisi revisi ini, wajar memang kalau kebijakan tersebut dipermasalahkan.Tapi setelah dilihat dari sisi keadilan bagi pengusaha makanan/restoran yang lain, kebijakan seperti ini sangat penting untuk didukung.Ada dua alasan mengapa pajak tersebut perlu diterapkan, yaitu :

1.Pajak adalah kewajiban setiap warga negara yang telah tertuang dalam UU, terlepas dari pengelolaan penghasilan asli daerah bersumber dari pajak yang amburadul.Jadi tidak tepat rasanya bila pengusaha warteg menjadikan keadaan sosial ekonomi pelanggannya sebagai alasan pajak kepada usaha warteg itu tidak perlu diterapkan.

2. Dalam revisi Perda pajak restoran mengenai batasan minimal pengahasilan kena pajak bagi pengusaha restoran sudah jelas.Pengusaha warteg yang beromzet diatas Rp 200 juta setahun wajib dikenakan pajak 10%.Kalau dihitung rata-rata omzet per bulannya sekitar lebih kurang Rp 16 juta dan kalau dihitung per hari adalah lebih kurang Rp 500 ribu, saya rasa tidak mungkin ada warteg yang omzetnya kurang dari angka tersebut.

Jadi tidak elok rasanya, pengusaha warteg untuk menghindari kewajiban pajak atas kegiatan usaha yang mereka lakukan.Karena banyak juga pelanggan mereka yang strata ekonominya menengah kebawah dikenakan pajak dari gaji yang mereka dapat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun