Mohon tunggu...
Oudhiart
Oudhiart Mohon Tunggu... Penulis - Engkau boleh saja pergi ketika matahari sedang menemaniku, tetapi kembalilah tepat waktu sebelum kegelapan memelukku.

Biarkan aku memakai topeng ini agar engkau tau aku yang sebenarnya.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Menyemai Garam di Atas Laut

12 Januari 2020   13:16 Diperbarui: 12 Januari 2020   13:12 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mendengar kata 'menyemai', seseorang pasti akan langsung membayangkan tanaman. Hal itu memang wajar, karena dalam pengetahuan umum menyemai dimaknai sebagai tindakan menanam (menabur) benih biji-bijian. Namun, bagaimana jadinya jika seseorang mendengar istilah 'menyemai garam di atas laut'?

Orang yang mendengarnya kemungkinan besar akan tertawa. Lalu berkata bahwa itu adalah hal yang tidak mungkin. Aneh. Bisa juga langsung mengecap gila. Bagaimana mungkin ada garam bisa ditanam? Mendengar istilah 'menyemai garam' saja sudah merasa aneh. Apalagi tempat menyemainya di atas laut. Bukannya laut itu surganya garam? Kenapa masih harus digarami lagi? Apa lautnya kurang asin?

Akan tetapi, jika dipikir lebih jauh lagi. Bukankah orang-orang yang pekerjaannya mengambil garam disebut sebagai petani garam? Bisa jadi memang benar, garam itu disemai di laut sebelum dipanen. Berarti ada proses penanamannya dulu. Tidak serta merta diambil sembarangan. Apa benar demikian?

Sebenarnya menyemai garam di atas laut bukanlah hal yang tidak mungkin. Tindakan tersebut sudah banyak dilakukan dan terkenal dengan sebutan TMC (Teknologi Modifikasi Cuaca). Sekarang tujuannya sudah jelas, menyemai garam di atas laut adalah sebuah upaya untuk melakukan rekayasa cuaca. Garam tersebut bukan disebar di permukaan laut melainkan di awan yang masih berada di atas laut.

Akhir-akhir ini BNPB dan BPPT juga telah menyemai berton-ton garam untuk membuat hujan turun di wilayah perairan Pandeglang dan sekitar Selat Sunda. Harapannya hujan lebat tidak turun lagi di wilayah Jakarata.

Bukankah ini malah menjadi ironi? Ketika musim penghujan, hujan di larang jatuh di daratan. Sedangkan, ketika musim kemarau, banyak sekali kekeringan terjadi. Kelangkaan air bersih ada di mana-mana. Sampai-sampai, banyak sekali orang yang diajak melakukan ritual untuk meminta hujan.

Sekarang pertanyaannya, apakah tindakan tersebut baik? Okelah anggap saja ini baik karena menghindari banjir. Lalu, apakah tidak akan berdampak pada musim kemarau yang akan datang? Sumber-sumber air yang ada di dalam tanah seharusnya melakukan pengisian ulang ketika musim penghujan tetapi jika hujan dialihkan tempatnya di lautan lalu dari mana sumber melakukan pengisian ulang?

Tidak perlu diambil hati. Ini hanya sebuah imajinasi saja. Namun, imajinasi ini malah memunculkan pertanyaan baru. Perlukah manusia merekayasa alam? Apakah alam akan diam saja ketika diajak berakting?

Mari kita renungkan dulu agar mendapat jawaban yang baik. Satu hal yang pasti, menyemai garam di atas laut itu bukan berarti menanam biji garam di laut untuk dipanen. Itu hanyalah sebuah cambuk untuk memaksa alam berakting.

Salam L.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun