Sinergi?
Mungkinkah guru dan pepustakaan berpadu untuk menimbulkan energi berlipat membentuk sebuah generasi akhir menjadi generasi emas? Bukankah nampak seperti sebuah khayalan? Di saat perpustakaan mulai ditinggalkan karena orang lebih memilih e-book?
Berikut ini adalah tulisan yang berkaitan dengan harapan saya sebagai seorang guru terhadap anak didik dalam kaitannya dengan membaca di perpustakaan. Meski terkesan lamban dan tanpa kehebohan tapi peluang yang ditawarkan dari sebuah perpustakaan dan kemauan seorang guru akan bisa memberi warna baru bagi arah pendidikan di Indonesia.
***
Merenungkan nasib anak muridku kelak, di sebuah perpustakaan sering kulakukan. Selain perpustakaan sekolahku yang terletak di SDN 173 Neglasari Bandung cukup nyaman, juga ketersediaan buku yang mencapai lebih dari 9.000 buah, membuat inspirasi bagi pemikiran dan dan perenungan tak ada habisnya.
Anak-anak di sekolah ini aktif membaca dan meminjam buku, terlihat dari grafik meningkatnya pemustaka tiap bulan. Peminjam buku yang aktif lebih dari 50 % jumlah total 426 siswa (2017). Meningkat di tahun 2018 menjadi 55 % Sangat melegakan, mengingat serbuan gadget yang menawarkan bacaan selain buku jauh lebih banyak dan menarik. Apalagi disertai rayuan game yang sangat mengasyikkan.
Perpustakaan merupakan jantung literasi di sekolah. Darah yang mengalir berupa eritrosit bagaikan para siswa yang aktif membaca. Semakin aktif sebuah jantung bergerak maka darah mengalir lebih cepat lagi. Oksigen yang di bawa darah dalam jantung yang aktif dan sehat menandakan bahwa para siswa mendapatkan kesegaran dalam berpikir ketika rajin membaca.
Membaca demi mencapai kemulyaan dan mencapai hakikat kemanusiaan tertinggi hingga akhirnya timbul penyadaran diri: tahu arti penciptaan, mengerti tugasnya sebagai manusia, menjadi khalifah di muka bumi,paham tujuan hidupnya dan kehidupan setelah kematian.
Generasi saat ini bukan hanya generasi posmodernisme melainkan generasi Z sebagai generasi paling akhir yang akan mewarisi bumi dengan segala loncatan teknologi dan seluruh keterbatasan ketersediaan sumber daya alam dalam menunjang kehidupan. Kelak bila diaping dengan baik oleh guru-guru dengan proses literasi yang mumpuni akan tumbuh menjadi generasi emas yang memiliki kesadaran dan kepedulian yang tinggi terhadap diri dan lingkungan hidupnya.
Bukan hal yang mudah bagi seorang guru mengaping anak didiknya untuk menjadi generasi emas. Hal tersebut akibat dari banyaknya kekuatan negatif yang dengan sangat mudah memengaruhi mereka. Sebut saja, selain generasi yang lahir dari zaman dengan teknologi tinggi, ekses yang ditimbulkan teknologi pun sangat besar.
Kebebasan mengakses konten pornografi, kemudahan mencari tugas di internet hingga timbul sikap instan, copy paste, kemudahan berkomunikasi hingga tidak terhindar dari membuang waktu dengan sekedar chatting canda tak jelas arahnya dan banyak lagi.
Seorang guru haruslah mempersiapkan diri menjadi benteng yang mampu menghadang kekuatan negatif dan menularkan hal-hal positif kepada anak didiknya. Salah satunya, kembali ke membaca buku. Buku adalah sumber ilmu yang masih lebih mudah dipantau, sebab eksesnya cenderung lebih sedikit.
Guru harus menjadi agent of change merubah paradigma budaya instan dan hedonisme yang berkembang akibat kemudahan teknologi saat ini. Guru adalah harapan paling awal agar bisa mewujudkan generasi masa depan sebagai generasi emas.
*) Diterbitkan di NeoKultur edisi 02.
Sumber: 1, 2
Bandung, 1 Februari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H