Masih memakai samping kumal Ninih duduk di kursi reyot yang berdenyit saat diduduki. Beban tubuhnya tak lagi mampu berkompromi dengan kursi kayu peninggalan suami tercinta yang telah lama berpulang.Â
"Braaaakkk!"
"Gedebum!"
Nasib kursi reyot kehilangan nyawa ditangan Ninih.
Sambil mendengus dan berusaha bangkit dengan susah payah, Ninih akhirnya berhasil berdiri meski sakit disekitar tulang ekor dan pinggang masih terasa.
"Bilang dong! Kalau kamu sudah nggak kuat?"Â
"Apa salahnya cuma ngomong gitu aja?"
"Mentang-mentang sudah tahun baru, kamu juga minta ganti baru?" Maki Ninih pada kursi kayu berwarna coklat kusam.
Meski Ninih memaki, air matanya mengalir jua. Kursi itu adalah kursi saksi cinta kasihnya dengan Mas To.Â
Kursi yang mencatat seluruh kenangan antara dirinya dan Limpto. Mas To tak meninggalkan warisan apapun kecuali kursi yang dibeli To, saat bekerja mati-matian mengayuh becak.Â
Setelah becak dilarang beroperasi, becak dijual untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Mas To jadi pengangguran, gantian Ninih yang bekerja sebagai buruh cuci di rumah kos-kosan mahasiswa.