Mohon tunggu...
Mania Telo
Mania Telo Mohon Tunggu... swasta -

@ManiaTelo : Mengamati kondisi sosial,politik & sejarah dari sejak tahun 1991

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Who is The President? Jokowi or Megawati?

14 Januari 2015   14:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:10 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pendukung Jokowi masih terlihat kurang rasional dalam menyikapi pencalonan Kapolri oleh Presiden Jokowi, calon tunggal yang diajukan, Komjen. Pol. Budi Gunawan mendadak sehari sebelum dilakukan "fit & proper test" oleh Komisi III DPR-RI dinyatakan sebagai tersangka korupsi. Sebelumnya memang terdengar kencang sekali di suara di media sosial/online maupun media cetak, bahwa calon tunggal yang diajukan oleh Presiden Jokowi ditentang keras oleh banyak kalangan. Banyak kalangan meminta secara nyata agar Jokowi mencabut pencalonan Komjen Pol. BG tsb.

Pendukung Jokowi awalnya membuat banyak pernyataan, bahwa sebelum status hukum seseorang dinyatakan oleh penegak hukum (KPK) sebaiknya tetap menghormati asas praduga tak bersalah. Dalam hal ini biarkan saja Komjen Pol. BG tetap maju sebagai calon Kapolri pilihan Jokowi, bilamana nanti kelak benar terlibat korupsi diproses secara hukum, apalagi Jokowi juga dikatakan tidak perlu meminta pendapat KPK sebab antara ketiga penegak hukum (KPK-POLRI-Kejaksaan Agung) memang "setingkat" dalam penegakan hukum, sehingga tidak cukup elok calon Kapolri dan Jaksa Agung harus diklarifikasi terlebih dahulu ke KPK. Nanti kalau memang tersangkut korupsi, KPK baru menindak mereka.

Setelah KPK mengumumkan status tersangka Komjen Pol. BG, para pendukung Jokowi bersuara lain, bahwa memang ada "kesengajaan" surat pencalonan Kapolri tersebut dibocorkan ke publik sebelum pihak Istana mengumumkan calon Kapolri pilihan Jokowi. Tujuannya tak lain adalah agar publik cukup punya waktu bersuara keras untuk melakukan penolakan. Ada-ada saja para pendukung Jokowi membuat pernyataan yang tidak rasional itu.

Catatan yang perlu digarisbawahi adalah:


  1. KPK sudah pernah memberikan "red list" kepada Komjen. Pol. BG ketika yang bersangkutan diajukan oleh Jokowi sebagai calon menteri kabinet kerja sekarang. Tentu saja ini membantah anggapan bahwa Jokowi tidak tahu. Artinya Jokowi memang sadar bahwa nama Komjen. Pol. BG masuk "red list" KPK, kenapa tetap saja dimajukan kalau bukan karena "tekanan"? Keterkejutan & "shock" Jokowi yang disampaikan oleh pihak Istana ditertawakan oleh kalangan masyarakat sebagai "kepura-puraan" seorang Jokowi.
  2. Jokowi tidak mungkin tidak tahu reputasi Komjen Pol. BG melalui media maupun para orang dekatnya. Seandainya tetap saja menggunakan asas praduga tidak bersalah, maka sebagai presiden bisa saja menggunakan hak untuk menolak pengajuan nama tersebut dari Kompolnas. Tetapi dalam sebuah kesempatan, Jokowi mengatakan, "....masak memilih yang jauh..?" ketika ditanya tentang calon Kapolri kontroversial yang diajukannya. Ini berarti Jokowi memang sengaja dan ingin Komjen Pol. BG dijadikan Kapolri. Masyarakat yang melihat ini juga menertawakan ada anggapan seolah Jokowi "dijegal" oleh orang-orang di sekelilingnya melalui pengajuan calon Kapolri yang diributkan sejak awal.
  3. Ketika KPK mengumumkan status Komjen Pol. BG sebagai tersangka korupsi, sejak sore sampai malam hari kemarin, respon pihak Istana seperti "menunggu" titah turun dari Jl. Teuku Umar no. 29  Jakarta. Terlihat kesibukan luar biasa di rumah Megawati Soekarnoputri setelah pengumuman KPK tersebut. Rapat yang dipimpin oleh Menkopolhukam juga tidak kunjung menghasilkan keputusan menarik atau meneruskan pencalonan Komjen Pol. BG tersebut. Jokowi disinyalir oleh publik sedang "menunggu" titah Megawati. Inilah blunder imej yang dilakukan oleh Jokowi, sebab sebagai Presiden seharusnya bertindak sigap seperti halnya ketika dirinya dengan sigap "blusukan" ke mana pun untuk mengecek keadaan rakyat Indonesia. Sudah banyak yang menganjurkan Jokowi untuk menarik pencalonan Komjen Pol. BG atau opsi meminta Komjen Pol. BG untuk mundur saja dalam pencalonan ini agar fokus menghadapi kasusnya. Tetapi upaya itu tidak terlihat dalam hitungan jam sejak pengumuman KPK menyatakan Komjen Pol. BG sebagai tersangka korupsi. Publik menilai, Jokowi memang dalam kondisi menunggu perintah Megawati dan partai koalisinya. Di sini jelas, bahwa pilihan calon Kapolri ini memang diajukan oleh Megawati, bukan oleh pribadi Jokowi sebagai presiden RI yang mempunyai kekuasaan mutlak untuk memilih pembantu-pembantunya.


Sebelum Pilpres 2014, terdengar isu bahwa Jokowi bakal menjadi "presiden boneka" Megawati. Karena situasi waktu itu rakyat Indonesia banyak juga yang tidak menyukai politisi-politisi dari Koalisi Merah Putih, maka apa pun yang disuarakan melalui isu di media ditepis dengan mudah. Rasa iri hati, rasa dendam dan sebagainya terus-menerus dialamatkan ke KMP, dan memang situasi waktu itu memang masyarakat cukup besar bersikap antipati kepada para politisi di KMP yang kalau bicara seperti orang 'celemotan". Namun dengan seiring waktu, para politisi KMP sudah seperti mulai "kehabisan tenaga" dengan porak-porandanya PPP dan Golkar, bahkan kelihatan mempunyai "niat" mendukung calon Kapolri yang diajukan oleh Jokowi, mendadak sontak Jokowi tidak menunjukkan kesigapan menarik pencalonan Komjen Pol. BG setelah diumumkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.

Wacana yang disampaikan oleh pendukung Jokowi melalui media terus-menerus dibantah oleh publik yang melihat bahwa Jokowi memang "lemah" dalam pemberantasan korupsi dan di balik bayang-bayang Megawati. Yang aneh adalah para pendukung Jokowi berusaha membuat opini di publik untuk "menyalahkan" Komisi III DPR RI yang tetap ngotot mau melakukan "fit & proper test" sehingga terkesan Jokowi "tidak bersalah" dalam pencalonan Komjen. Pol. BG ini. Bahkan, suara-suara untuk membuat opini publik berbalik adalah Jokowi 'menunggu' Komisi III DPR RI menolak atau tidak calon Kapolri yang diajukan, dikatakan bahwa itu adalah "prosedur" yang memang harus dilalui ketika pencalonan itu sudah diajukan.

Kalangan hukum mengatakan bahwa MORAL harus berada di atas prosedur hukum, tetapi sebaliknya di Indonesia seringkali bila terjadi konflik kepentingan seperti sekarang ini, justru moral tidak pernah diutamakan agar hukum bisa ditegakkan. Nah, inilah saat yang ditunggu oleh masyarakat Indonesia, apakah Jokowi lebih mementingkan MORAL atau prosedur hukum....? Rakyat Indonesia akan menyaksikan pertunjukan politik yang ditampilkan oleh seorang Jokowi, sebagai presiden atau sebagai "presiden boneka" seperti yang selama ini didengar oleh rakyat Indonesia sejak sebelum Pilpres 2014 yang lalu.

Jadi, kita tunggu saja siapa yang menjadi Presiden Indonesia "sesungguhnya" itu, Jokowi atau Megawati....?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun