Mohon tunggu...
Mania Telo
Mania Telo Mohon Tunggu... swasta -

@ManiaTelo : Mengamati kondisi sosial,politik & sejarah dari sejak tahun 1991

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden-ku "Omdo"?

17 Februari 2015   22:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:01 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"....tunggu 1 hari lagi....!" "...masak nggak sabar....? tunggu minggu depan saya putuskan....!" "...tunggu....tunggu....dan tunggu...!" Ini perkataan yang sering kita dengar sejak awal tahun 2015 hingga sekarang ini dari presiden Jokowi. Entah kenapa kata-kata ini sekarang mulai menjadi "tren" dan publik akhirnya terbiasa dengan kata-kata "nggak jelas" itu. Ditunggu kapan waktunya,jadi "nggak jelas" juga....Padahal kita punya Presiden dipilih secara jelas,melalui mekanisme Pilpres yang dibilang paling demokratis karena melibatkan jumlah pemilih terbanyak sepanjang sejarah Pemilu dengan Komisioner KPU yang paling kredibel di era Reformasi.

Sudah tidak terhitung orang mencaci-maki Presiden Jokowi akibat gaya kepemimpinannya yang menganggap kisruh KPK vs POLRI itu bisa diselesaikan dengan gaya kepemimpinan seperti memindahkan PKL yang ada di Solo sewaktu dirinya menjadi Walikota dulu. Mengulur waktu dan mencoba negosiasi dengan berbagai kalangan,duduk makan sambil terus mencari solusi ternyata sudah tidak mempan lagi dipakai untuk mengatasi kisruh KPK vs POLRI. Sikap mengulur waktu menjadikan masalah ini semakin berlarut-larut dan kesempatan ini diigunakan dengan sebaik-baiknya oleh berbagai kalangan yang berpekara untuk menekan,membuat skenario baru dan berbagai siasat licik untuk menjatuhkan lawan-lawannya. Bagi koruptor dan pelanggar hukum lainnya,ini kesempatan emas untuk meraup keuntungan atas kisruhnya KPK vs POLRI. Tak heran mata uang Rupiah pun rontok mendekati Rp.13ribu per US Dollar,investor pun takut berinvestasi karena tak ada jaminan kepastian hukum ; Hakim bisa seenaknya membuat dalil-dalil baru memenangkan perkara tanpa berpegang Undang-Undang yang berlaku.

Presiden Jokowi kali ini terjebak dalam strategi "mengulur waktu" yang menjadi andalannya selama ini. Padahal yang dihadapi adalah sebuah institusi yang orang-orangnya sudah sangat terlatih bergerak cepat bila ada masalah. Dalam bisnis memang strategi Jokowi adalah strategi terbaik dalam melakukan negosiasi ; Tetapi dalam menghadapi "perang" KPK vs POLRI ini strategi Jokowi bisa dibilang "failed" karena terlalu banyak memberi kesempatan kepada "musuh" untuk menyerang lebih cepat dan "menusuk" sampai kedalam. Maka tak heran kalau KPK kalah dalam sidang pra peradilan dengan Hakim Sarpin sebagai hakim tunggal. Bagaimana orang percaya bahwa persidangan tersebut bebas tekanan dan intimidasi...?

Oleh karena itu,kondisi sekarang banyak yang sangsi bahwa Presiden Jokowi benar-benar dapat menepati janji kampanyenya dulu,yaitu melakukan pemberantasan korupsi ; Bagaimana mau memberantas korupsi kalau sekarang KPK lumpuh tak berdaya sebagai institusi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi...? Orang mulai sangsi dan menganggap Presiden Jokowi hanya "omong doang" alias "omdo" dalam menegakkan hukum di negeri ini.

Negara Indonesia boleh dibilang sekarang dalam kondisi berbahaya dalam penegakan hukum,sebab saat ini semua bisa di rekayasa dan terang benderang pula rekayasanya,apalagi dalam keterbukaan informasi ini sangat jelas kasus-kasus hukum yang dikenakan kepada pimpinan KPK sarat dengan rekayasa. Opini yang coba dibentuk ke publik adalah pimpinan KPK bukan "dewa" yang tanpa salah,sehingga siapapun bisa tersangkut masalah hukum. Pertanyaan publik adalah "apakah kasus hukum tersebut murni tanpa rekayasa...?" Melihat apa saja bisa di rekayasa,masyarakat pun mulai "ketakutan" sebab yang dihadapi adalah korps dan bukan individual penegak hukum...! Lihat saja kasus Komjen Pol.BG vs KPK,bukan individu Komjen Pol.BG lagi yang berhadapan dengan KPK,tetapi sudah sampai mengerahkan "anak buah" yang berbaju seragam Polisi,apakah ini tidak melanggar hukum?

Kalau masyarakat di Indonesia boleh pegang "bedil" seperti Polisi,mungkin akan banyak kasus "balas dendam" seperti film-film yang dibuat oleh Hollywood ; Polisi seharusnya tunduk dan tidak "show-off" dengan menggunakan baju korps-nya mendukung individu yang sedang berperkara,jangan merasa kuat karena pegang "bedil" maka bisa pamer kekuatan. Mereka juga harus menyadari bahwa saatnya nanti pensiun,mereka adalah masyarakat biasa yang tak lagi punya kekuatan untuk pamer ...! Bahasa Jawanya,"ojo dumeh...!"

Nasehat yang tepat untuk Presiden Jokowi adalah secepatnya menyelesaikan masalah ini dengan cepat,jangan sering menunda keputusan yang menyebabkan konflik antar institusi yang punya kekuatan,apalagi yang punya "bedil"...Ini sangat berbahaya sekali buat kehidupan berbangsa dan bernegara,sebab negeri ini akan berubah menjadi tirani terselubung...!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun