Mohon tunggu...
Mania Telo
Mania Telo Mohon Tunggu... swasta -

@ManiaTelo : Mengamati kondisi sosial,politik & sejarah dari sejak tahun 1991

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi (Masih) Belajar Sebagai Panglima Tertinggi

10 Februari 2015   04:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:31 1110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Melihat betapa berlarut-larutnya kisruh KPK vs POLRI dalam kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden dan Kepala Negara Republik Indonesia,terlintas sebuah pemikiran yang selama ini menjadi perdebatan publik selama bertahun-tahun,"...Apakah orang sipil Indonesia mampu menjadi pemimpin negara yang 'powerful' mengatasi masalah POLRI dan TNI ?"

Sejarah Republik ini sudah membuktikan,bahwa seorang Soekarno sebagai "founding father" dan Presiden pertama Republik Indonesia pun tidak cukup mampu mengatasi konflik yang terjadi di tubuh TNI,sehingga meletusnya Gerakan 30 September yang membuat Soekarno tersingkir dalam kepemimpinan Nasional ketika itu.

Demikian pula sejarah Kepolisian yang ketika di era Orde Lama pernah mengalami beberapa kali restrukturisasi Organisasi,yaitu pernah dibawah Kemendagri,pernah berdiri sendiri dalam satu Kementerian,dsb mengalami perubahan drastis pada tahun 1970 ; Yaitu POLRI dimasukkan dalam satu organisasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) bersama TNI. Sejak itu pendidikan dan pola rekrutmen anggota Polisi masuk dalam pola rekrutmen dan pendidikan AKABRI,yang dibedakan hanyalah "jurusan"nya yaitu Angkatan Laut,Angatan Darat,Angkatan Udara dan Kepolisian.

Para petinggi POLRI dan TNI yang sekarang berpangkat Jenderal bintang tiga keatas adalah sebenarnya produk lulusan era AKABRI,bukan era AKMIL atau AKPOL ; Era Reformasi pemisahan POLRI dari ABRI adalah untuk memberikan "kesan" bahwa POLRI / AKPOL sudah dipisahkan dari "model" rekrutmen militeristik ; Walau dalam berbagai kegiatan pendidikannya sering terlihat masih menggunakan model militer.

Oleh karena itulah,hanya mantan Presiden Soeharto dan SBY yang mempunyai latar belakang militer,dan bahkan "perancang" ABRI modern yang mempunyai "kelebihan" dalam mengatasi permasalahan di kedua organisasi "pemegang bedil" di Indonesia ini. Presiden dari kalangan sipil seperti Gus Dur,Megawati dan sekarang Jokowi dalam sejarahnya tidak cukup mampu mengatasi masalah di POLRI dan TNI. Presiden Jokowi sudah layak dimasukkan sebagai Presiden yang "gagal" mengatasi konflik di tubuh POLRI ketika sedang kisruh dengan KPK. Pemilihan Komjen Pol.BG yang diluar kebiasaan,yaitu tidak melibatkan Wanjakti POLRI dan KPK serta PPATK yang dirintis oleh Presiden pendahulunya,dianggap sebagai "biang" kesalahan Presiden Jokowi dalam membuat konflik POLRI dengan KPK timbul.

Presiden dari kalangan sipil kurang mempelajari karakteristik kepemimpinan didalam tubuh POLRI dan TNI,dimana mereka dibentuk karena faktor "senioritas" dan SAPTA MARGA yang sangat kuat. Kehormatan seorang TNI hanyalah pada Negara & Bangsa Indonesia,bukan pada "individual leader" ; Oleh karena itulah mereka benar-benar menanamkan semangat bela negara yang luar biasa dengan sistematis dan terstruktur. Ada kebanggaan di tiap-tiap angkatan yang lulus di AKABRI ketika itu,semangat ini digunakan untuk membangun kepemimpinan yang berkelanjutan,dan bukan "saling melompati" walau yang lebih muda itu jauh lebih hebat atau lebih pintar. "Jam terbang" menjadi faktor penentu seseorang bisa meraih kepemimpinan tertinggi di TNI (dan POLRI).

Hal diatas berbeda dengan semangat "profesionalitas" di kalangan sipil yang acapkali mengabaikan faktor senioritas dan "jam terbang" dalam meraih kepemimpinan tertinggi dalam puncak organisasi. Hanya organisasi profesional ,seperti perusahaan swasta yang sangat bagus menerapkan mekanisme kepemimpinan model "senioritas" dan "jam terbang" selain faktor-2 lain yang menunjang dengan jabatannya. Inilah yang kemudian menjebak Presiden Republik Indonesia dari kalangan sipil yang seolah merasa sudah "dipilih oleh rakyat" bisa seenaknya memilih Petinggi POLRI dan TNI dari yang dianggapnya "paling dekat" dengan dirinya. Padahal sudah bukan menjadi rahasia umum,setiap ada "lowongan" petinggi TNI atau POLRI selalu muncul isu "perang bintang" . Inilah yang diduga oleh banyak kalangan tidak pernah di antisipasi oleh Jokowi dalam memilih Komjen Pol.BG sebagai calon Kapolri kemarin.

Keberhasilan SBY sebagai presiden Republik Indonesia yang mampu mengatasi masalah di POLRI dan TNI tak lepas karena dirinya seorang militer yang pintar di angkatannya. Tampuk kekuasaan sebagai Presiden dan Kepala Negara yang merupakan "Panglima Tertinggi" mampu digunakan dengan sebaik-baiknya oleh SBY,sehingga para seniornya pun "terpaksa" hormat karena dirinya adalah "Panglima Tertinggi" ketika menjadi Presiden Republik Indonesia. Terhadap "yunior" nya,SBY pun mampu berlaku tegas sesuai dengan hirarki kemiliteran yang dibentuk semasa mereka menjadi kadet. Oleh karena itu,SBY dan koleganya pada satu periode pertama kepresidenannya mampu mengatasi gejolak di TNI dan POLRI.

Namun tidak demikian dengan yang terjadi terhadap mantan Presiden Gus Dur,Megawati dan presiden Jokowi saat ini ; Sistem yang sudah terbangun dalam periode waktu yang cukup panjang antara tahun 1970 hingga 1998 di AKABRI "seolah" dilupakan oleh mereka. Akibatnya,TNI dan POLRI pada masa 3 presiden tersebut penuh dengan gejolak. Jokowi sekarang mengalami gejolak yang tak kalah hebatnya,seorang Komjen Pol.BG "berani" menentang "himbauan" seorang Kepala Negara untuk "mundur" dari pencalonan Kapolri. Pembangkangan seperti ini mungkin tidak akan pernah terjadi bilamana Presiden Republik Indonesia adalah seorang dari kalangan Militer seperti halnya mantan presiden Soeharto dan SBY.

Pemilihan Kapolri yang diseret ke ranah politik adalah sangat berbahaya,karena POLRI adalah salah satu organisasi "pemegang bedil" . Doktrin membebaskan "Dwi Fungsi ABRI" yang pada era presiden SBY sudah di reformasi dengan mengembalikan organisasi "pemegang bedil" lebih fokus kepada keamanan di dalam negeri dan serangan dari luar,ternyata pada era Jokowi sebagai presiden diseret masuk ke persoalan politik dan hukum. Akibatnya bisa dilihat sendiri oleh rakyat Indonesia,kisruh KPK vs POLRI menjadi tontonan masyarakat dunia....! Karena merasa mendapatkan dukungan politik,tak heran Komjen Pol.BG "berani" menentang dan melakukan "deal politik" untuk mengamankan dirinya. Inilah yang kira-kira menjadi "suara publik" bila kita membaca semua komentar yang dimuat di media. Opini ini sangat berbahaya dan mengecilkan peran Jokowi sebagai Kepala Negara.

Dalam pemerintahan Jokowi-JK,juga tidak terlihat unsur 'penguat" dalam menyatukan suara Militer dan POLRI,sebab Menteri yang membidangi POLHUKAM dan PERTAHANAN,ternyata belum pernah menjadi "PANGLIMA TNI" atau sederajat ; Walau struktur dan jabatan "PANGLIMA TNI" atau sederajat dibawah seorang Presiden,namun seseorang yang dianggap pernah menjadi Panglima TNI atau yang sederajat akan lebih dihargai dari kalangan angkatannya di yunior maupun senior dari Militer dan POLRI,sebab prestasi dan kapabilitasnya dipastikan lebih dari sekedar seorang mantan Kepala Staf Angkatan. Maka tak heran,ketika Menkopolhukam Tedjo Edhy yang mantan KASAL "salah ucap" ketika menyebut pendukung KPK sebagai massa "nggak jelas" ,maka kritik masyarakat pun sangat pedas terhadap menteri satu ini,yaitu "Jaya di Laut,Lemah di Darat" ; Berbeda dengan Menhan Riyamizard yang dalam pembawaannya memang masih dianggap cukup dekat dengan kalangan Militer aktif hingga saat kini,banyak kalangan masih menaruh respek terhadap sosok Riyamizard yang "hampir" saja menjadi Panglima TNI di akhir kepemimpinan Megawati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun