Mohon tunggu...
Mania Telo
Mania Telo Mohon Tunggu... swasta -

@ManiaTelo : Mengamati kondisi sosial,politik & sejarah dari sejak tahun 1991

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Bisnis Seks & Narkotik: Hukum yang Salah Kaprah

28 Februari 2014   06:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:23 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang berlaku di Indonesia saat ini,semua orang yang melakukan,menggunakan,mengedarkan/memperjual-belikan barang terlarang seperti narkotika atau seks terlarang (seperti bisnis seks) dinyatakan ilegal dan bisa dituntut secara pidana. Untuk perdagangan dan pengguna narkotika sampai dibahas habis di ILC (Indonesia Lawyer's Club) dengan penuh pro dan kontra dari pendapat para mahasiswa,pakar hukum dan pengamat sosial sampai penegak hukum,dsb.

Namun hakiki dari hukum dan sosial ternyata mengesampingkan ilmu ekonomi,yaitu terjadinya "bisnis" karena ada barang,pembeli/pengguna/konsumen dan penjual sebagai "perantara" yang menghubungkan "barang" dengan konsumen.

Bila merunut logika bisnis/ekonomi,maka bila seorang penjual/penyedia jasa tidak ada barang dan tidak ada konsumen yang mencari barang tersebut,maka tak satupun orang akan menjadi penjual/penyedia jasa atas barang tersebut,kecuali penjual itu mempunyai kemampuan menjual yang inovatif yaitu menciptakan "pasar" kreatif,yaitu membuat orang tergila-gila untuk membeli barang/jasa yang disediakan ; Tetapi sekali lagi,pilihan terakhir tentunya ada di pihak konsumen atau ketersediaan barang itu sendiri. Kalau konsumen mengatakan "TIDAK" maka sebagus atau se-kreatif apapun si penjual melakukan inovasi,maka barang/jasanya pasti tidak akan terjual atau dibeli oleh konsumen.

Melalui logika bisnis/ekonomi tersebut diatas,maka Pemerintah atau Lembaga dan Penegak Hukum seharusnya menindak keras dan melakukan tindakan pencegahan secara optimal terhadap rakyat Indonesia,agar tidak menjadi konsumen/pengguna narkotika/seks terlarang ; Untuk masyarakat yang menjadi pengguna narkotik/seks terlarang seharusnya ditindak keras terlebih dahulu sebelum di rehabilitasi ; Tindakan keras dengan menghukum melalui hukuman badan dan sanksi sosial memang perlu dilakukan sehingga menimbulkan efek jera. Kalau pun akhirnya mereka mati karena over dosis,dll maka sebenarnya itu adalah pilihan yang mereka cari sendiri. Rehabilitasi adalah tindakan terakhir dan kalau diutamakan sebenarnya adalah sebuah siasat "bisnis" yang ingin dilakukan oleh orang-2 yang ingin mengambil keuntungan dari bisnis rehabilitasi. Sebab tidak ada satupun Lembaga Sosial yang bergerak di Rehabilitasi Pengguna Narkotik dan kecanduan Seks dilakukan secara "gratis" ; Rata-rata keluarga pengguna mengeluarkan uang puluhan juta hingga ratusan juta rupiah untuk membuat "pasien" menjadi sembuh. Padahal banyak juga mereka yang akhirnya kembali menjadi pengguna karena "barang" nya tersedia bebas di pasaran.

Wanita/Pria Pekerja Seks yang dianggap sebagai "barang" dan barang-2 narkotika bukan rahasia umum lagi kalau begitu mudah dijumpai di tempat-tempat yang sebenarnya kasat mata terlihat,tetapi lihat saja apakah para penegak hukum atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan ormas-2 mengkritisi atau melakukan penindakan hal tersebut? Tak usah ragu-ragu mengatakan bahwa apa yang dilakukan selama ini adalah "hangat-hangat tahi ayam" atau operasi penindakan seringkali bocor,sehingga semuanya kabur sebelum aparat bertindak. Jadi selama ini siapa yang bermain...?

Kalau tidak ada "barang" dan konsumen,maka si penjual pasti keok...! Pencegahan melalui kegiatan rohani dan pelajaran moral serta budi pekerti di keluarga juga sangat penting agar tidak menciptakan konsumen dan "barang" wanita/pria pekerja seks. Prinsip bisnis harus dimengerti,bahwa sehebat apapun penindakan terhadap penjual/penyedia jasa barang terlarang hingga dihukum mati pun,selama bisnis itu menciptakan keuntungan materi yang luar biasa,pasti banyak orang yang akan siap menjadi penjual/pengedar/penyedia jasa "barang terlarang",apapun resikonya...! Mencegah menciptakan konsumen dan ketersediaan barang sebenarnya lebih mudah,tetapi anehnya hukum atau orang-2 lebih lebih suka fokus kepada penjual/pengedar/penyedia jasa...!

Logika diatas ini mengisyaratkan,bahwa aparat hukum,LSM,Ormas,keluarga yang ada di masyarakat selama mau bertindak keras agar tidak tercipta konsumen dan "barang terlarang" beredar,maka dipastikan penjual juga pasti kesulitan,karena sudah tidak ada lagi "demand" dan "supply" ....apalagi yang bisa dijual...? Beda dengan kondisi sekarang,karena "demand" tinggi dan "supply" terbatas (atau sengaja dibatasi?) maka bisnis "barang terlarang" ternyata menciptakan keuntungan yang menggiurkan yang akhirnya menciptakan para penjual/penyedia jasa nekad...! Penjual / penyedia jasa lahir karena ada peluang,dan bila masyarakat mengatakan "TIDAK" ....pasti tidak ada peluang..!

Logika diatas juga berlaku terhadap masalah korupsi di Indonesia,yaitu selama pejabat eksekutif/ legislatif/ yudikatif menolak suap / korupsi atau mengindikasikan tidak menerima suap dan korup,maka tentu saja para penyuap atau orang yang mau mengajak korup juga tidak akan berani melakukan tindakan suap atau mengajak berbuat korup. Pejabat yang korup adalah "konsumen" empuk bagi "makelar" atau penyedia jasa yang meraup keuntungan besar karena bisa memuluskan "barang" atau "jasa" yang ditawarkan bisa dipakai/dijual/digunakan ......

Oleh karena itu,masyarakat harus dididik untuk mengatakan "TIDAK" untuk "barang terlarang" yang ditawarkan...! Hukum dan tindak yang keras bagi masyarakat yang membandel menjadi pengguna/pemakai "barang terlarang" ......! Jangan biarkan "demand" terus meningkat....! Aparat hukum harus bekerja keras agar "barang terlarang" tidak tersedia di pasaran baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata.....!

Sekali lagi,Kalau "demand" dan "supply" bisa dibatasi,maka orang pun tak akan pernah berpikir menjadi penjual yang nekad...! Penjual/penyedia jasa selalu lebih sedikit jumlahnya dari konsumen yang ada. Kalau aparat penegak hukum hanya fokus pada penjual/penyedia jasa tanpa menindak "konsumen" ....maka tetap saja para penjual / penyedia jasa "barang terlarang" lahir di dunia ini,karena manusia memang kebanyakan lahir untuk mengejar materi di dunia ini,siapa yang tidak tergiur dengan keuntungan selangit ....?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun