Mohon tunggu...
Mania Telo
Mania Telo Mohon Tunggu... swasta -

@ManiaTelo : Mengamati kondisi sosial,politik & sejarah dari sejak tahun 1991

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ahok Berang: Adakah Permainan Pajak Reklame di DKI Jakarta?

25 April 2014   13:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:13 1724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahok, Wagub DKI Jakarta yang terkenal dengan gaya kepemimpinan "Ali Sadikin" Era Reformasi kembali dibuat berang oleh ulah Kadis Pelayanan Pajak DKI Jakarta. Teringat kembali pengenaan pajak atas bus hibah yang dikenakan oleh Kadis Pelayanan Pajak berhubung bus tersebut akan di-"branding" oleh si penyumbang, Ahok mempertanyakan hitung-hitungan nilai pajak yang dikenakan hingga Rp 347 juta per tahun; Jawaban si Kadis sangat tidak masuk di akal sehat, "Itu kan baru perkiraan...."

Sudah bukan rahasia umum lagi kalau pajak reklame di setiap daerah menjadi permainan para pejabat dinas pajak daerah. Bila BPK dan KPK atau aparat penegak hukum meneliti satu per satu, maka dipastikan tidak ada satu pun yang beres dalam pemasukan pajak reklame tersebut ke kas Pemda. Sebenarnya para pengusaha sudah sangat tahu, bahwa ada "kongkalikong" antara petugas pelayanan pajak daerah dengan "Agency" atau "biro iklan" yang menangani reklame untuk sebuah produk/jasa yang di-iklan-kan melalui Papan Reklame ataupun bus-bus kota yang berseliweran di setiap kota. Namun karena si pengusaha merasa "diuntungkan" dengan "kongkalikong" itu, maka reklame yang dipasang tetap saja dibayar karena lebih murah dari perhitungan yang sebenarnya.

Selalu saja perkiraan perhitungan pajak reklame dibuat setinggi-tingginya, tujuannya agar ada negosiasi atau ada satu kalimat yang meluncur dari petugas pelayanan pajak daerah atau "agency" yang berkolusi dengan pejabat di pelayanan pajak daerah tersebut," .....tetapi semua bisa diatur, nanti bayar saja 'sekian... sekian....' ....." ; Yang masuk ke kas Pemda dengan nilai kuitansi/faktur yang dikeluarkan oleh pihak biro iklan akan berbeda sangat jauh. Biaya yang dibayarkan pengusaha ke biro iklan adalah biaya "resmi" yang disetor ke Kas Pemda + biaya tidak resmi yang masuk ke kantong si pejabat pelayanan pajak daerah + fee untuk biro iklan.

Bila diteliti secara menyeluruh papan reklame yang ada di DKI Jakarta, maka dipastikan biaya "resmi" yang masuk ke kas Pemda DKI Jakarta akan berbeda jauh bila dilakukan perhitungan secara detil pengenaan pajak yang sebenarnya berdasarkan ukuran reklame yang dipasang. Kalau itu tidak terjadi, maka yang dimungkinkan terjadi adalah permainan "dua tarif" yang bisa saja dimunculkan oleh petugas pelayanan pajak daerah, di mana satu tarif adalah tarif resmi yang dibuat berdasarkan keputusan Kepala Daerah, tetapi ada satu tarif yang memang sengaja dikeluarkan untuk "menakut-nakuti" pengusaha supaya akhirnya membayar pajak "resmi" tapi tidak resmi.

Maka tak heran bila perhitungan Ahok dengan "perkiraan" Kadis Pelayanan Pajak yang disampaikan ke pengusaha bisa berbeda jauh. Berdasarkan laporan reklame terbit tarif baru 1-24 April 2014, iklan yang dipasang di bus dengan luas 0,3 meter persegi sebesar Rp 1.368.750 per tahun. Dengan luas 1,1 meter persegi sekitar Rp 5.018.750 per tahun dan paling luas 15,71 meter persegi sebesar Rp 71.676.875. ; Sebuah angka yang fantastis perbedaannya, antara Rp 347 juta dengan +/- Rp 71-juta. Ini tentu saja bukan sebuah kebetulan berbeda, bukan? Wagub Ahok sebaiknya tidak berhenti hanya marah dan berang saja, tetapi sebaiknya menindaklanjuti dengan audit menyeluruh atas pajak papan reklame yang ada di DKI Jakarta dengan pemasukan pajak reklame yang diperoleh. Audit juga para pengusaha pemasang iklan dan biro iklan yang menangani papan reklame tersebut.

Permainan dinas pelayanan pajak daerah sangat beragam, perlu terobosan kebijakan dari Pemda DKI Jakarta dan daerah-daerah lain untuk menerapkan sistem yang lebih baik atas pajak reklame; Salah satu terobosan yang baik dari Gubernur DKI Jakarta Jokowi dan Wagub Ahok adalah DKI Jakarta sudah menerapkan kebijakan sistem pajak "online" untuk Pajak Restoran sehingga sulit bagi petugas pajak daerah bermain-main dengan pajak restoran yang dikenakan pengusaha kepada konsumen. Sebelum berjalan secara online, pajak restoran itu menjadi "makanan empuk" petugas pajak untuk bermain "akal-akalan" dengan pengusaha restoran; Tidak semua pajak restoran yang dikenakan kepada konsumen disetor ke kas Pemda, pengaturan "akal-akalan" ini masih terjadi di beberapa daerah yang belum menerapkan sistem online. Silahkan para petugas penegak hukum menelusuri permainan "akal-akalan" ini melalui metode pengungkapan kasus ala KPK, dipastikan banyak yang tertangkap dan di proses secara hukum.

Bagaimana dengan daerah Anda?

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun