Ditayangkannya secara "LIVE" pengadilan atas kasus kematian Mirna yang menyebabkan Jessica Wongso menjadi terdakwa membuat masyarakat luas belajar banyak, tidak hanya dari segi pembuktian benarkah J yang meracun M,tetapi juga benarkah M meninggal karena Sianida seperti yang selama ini didakwakan kepada J ; Akibatnya kasus ini terkenal dengan kasus "Kopi Sianida".
Proses pengadilan yang ditayangkan secara "LIVE" Â oleh TV swasta juga membuat masyarakat bisa melihat profesionalitas Majelis Hakim,Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan para saksi ahli yang dihadirkan di persidangan serta penasihat hukim terdakwa J.
Dari awal-awal persidangan yang menghadirkan saksi-saksi ahli dari JPU,banyak pendapat dari masyarakat yang menyatakan bahwa keahlian dari saksi ahli dari JPU lebih mirip "paranormal" daripada bersaksi demi kebenaran yang hakiki. Beberapa saksi ahli dari JPU malah lebih bersikap sebagai "JUDGE" dan sangat subyektif sekali.
Yang sangat bagus adalah sikap dari penasihat hukum dari terdakwa,walau kesaksian saksi ahli dari JPU bersifat subyektif,pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tetap relevan dan tidak emosional.
Namun ketika waktunya pihak J meminta para saksi ahlinya memberi kesaksian,nampak sekali pihak JPU tidak bisa menerima kesaksian dari saksi ahli dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dalam mengungkap kasus ini menjadi terang benderang. Sikap emosional dan bahkan nampak mengancam serta membentak saksi ahli dari pihak J disaksikan oleh masyarakat luas. Ini benar-benar membuat wajah pengadilan kasus Mirna menjadi terlihat tidak obyektif.Â
Sah saja jika JPU menginginkan kasus Mirna dimenangkannya,tetapi ketika nafsu untuk memenangkan tidak dibarengi dengan mencari kebenaran maka kasus Mirna akan menjadi gelap selamanya. Sebab dari dua kesaksian ahli patologi forensik dari Universitas Queensland Australia dan RSCM yang dihadirkan ternyata menyatakan kematian Mirna bukan karena Sianida,maka JPU seperti sangat panik sekali dan mulai kehilangan pegangan untuk bertanya secara profesional dalam mencari kebenaran atas kesaksian dari saksi ahli. Justru pertanyaan-pertanyaannya bolak-balik diluar konteks yang ada,terlebih dibarengi dengan sikap emosional.
Ini adalah kekalahan JPU dalam mengambil simpati publik karena pengadilan ini ditayangjan secara "LIVE"...Setiap tindakan JPU yang berakibat membuat simpati publik negatif akan berdampak pada persepsi publik bahwa Mirna meninggal bukan karena Sianida.
Sebaiknya JPU mempunyai daftar pertanyaan yang sesuai konteks keterangan saksi ahli yang dihadirkan oleh penasihat hukum dari terdakwa. Bisa saja JPU didampingi oleh saksi ahli yang mempunyai profesi yang sama dengan saksi ahli yang dihadirkan oleh penasihat hukum,sehingga pertanyaan-pertanyaan itu bisa fokus apakah saksi ahli yang dihadirkan berbohong atau tidak.
Kasus Mirna memang kasus unik,sebab pihak penyidik dari awal hanya "berasumsi" dengan bukti-bukti yang masih sumir karena tidak bisa menangkap basah atau memiliki bukti nyata bahwa Jessica adalah pembunuh Mirna. Pengungkapan kasus dengan metodologi "science" memang tidak mudah di pengadilan,sebab "Science" itu tidak tunggal,banyak bidang-bidang keilmuan yang terpecah-pecah dan satu sama lain harus saling melengkapi. Ketika kesaksian dari saksi ahli tidak lengkap,maka tugas JPU harus merangkai,bukan malah menyerang habis-habisan...Majelis Hakim tentu saja bukan orang bodoh,sebab hakim pasti bisa melihat mana saksi ahli yang abal-abal dan mana yang memang benar-benar saksi ahli sesuai keilmuannya.
Yang lebih penting,publik juga bisa melihat mana yang benar atau salah...Hati-hati,teknologi dan pengetahuan itu sangat luas sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H