Mohon tunggu...
Mania Telo
Mania Telo Mohon Tunggu... swasta -

@ManiaTelo : Mengamati kondisi sosial,politik & sejarah dari sejak tahun 1991

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Fokus Demo Sopir : Masalah Aturan, Bukan Model Bisnis

23 Maret 2016   06:23 Diperbarui: 23 Maret 2016   08:07 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Demo besar-besaran sekitar 6000 orang para sopir angkutan umum di Jakarta pada tanggal 22 Maret 2016 patut dicermati oleh pihak Pemerintah Indonesia. Sebab pada demo besar-besaran ada kecenderungan disusupi oknum untuk melakukan tindakan anarkis,karena mereka mempunyai tingkat emosional yang berbeda-beda,tergantung pada berat atau ringannya persoalan sekarang ini yang menghimpit mereka satu sama lain,dan hingga kini  tidak terselesaikan dengan baik melalui saluran mekanisme yang benar. Akar masalah sebuah gerakan sosial yang berujung anarkis adalah penyelesaian masalah yang berlarut-larut dan tidak berkeadilan bagi pihak yang menuntut rasa keadilan.

Dari berbagai pengamatan atas komentar publik yang mengikuti berita demo besar-besaran tersebut, ada terlihat bahwa masyarakat banyak yang tidak mengerti akar masalah kenapa demo para sopir itu terjadi. Bahkan pakar ekonomi pun cenderung melihat sisi aspek perubahan bisnis model yang terjadi di angkutan umum,dari taksi konvensional ke taksi yang berbasis aplikasi online. Padahal bukan itu yang menjadi akar masalah demo besar-besaran tersebut. 

Pemerintah sebenarnya sudah menyediakan berbagai perangkat Undang-Undang atau aturan hukum atau regulasi perihal angkutan umum. Presiden Jokowi sebenarnya cukup mengambil sikap tegas dalam mengimplementasikan Undang-Undang atau aturan hukum yang berlaku ; Kebimbangan dan saling melempar masalah antara Menhub dengan Menkominfo menjadi sumber masalah bagi para sopir angkutan umum,seharusnya masalah koordinasi tetap tanggung-jawabnya ada pada pimpinan tertinggi eksekutif negeri ini.

Sebenarnya GRAB dan UBER atau sejenisnya melakukan siasat bisnis saja. Di media, perusahaan tersebut mengatakan hanya penyedia jasa aplikasi online taksi,dimana dalam melakukan bisnisnya (yang terdaftar di Kementerian Komunikasi & Informatika) perusahaan tersebut bekerja-sama dengan para mitranya yang berupa perusahaan rental mobil,koperasi dan perorangan. Sepintas memang perusahaan tersebut tidak melanggar ketentuan perundangan yang berlaku di Republik ini,terkait dengan usaha aplikasi online. Tetapi ketika bisnis yang dijalankan di dalam aplikasi online itu bergerak dalam kategori bisnis yang berhubungan dengan angkutan umum,maka mereka mau tidak mau harus bersinggungan dengan Undang-Undang tentang angkutan umum yang berlaku di Republik ini. Hal yang sama juga berlaku di negara manapun di seluruh dunia.

Siasat bisnis yang dimainkan oleh Grab & Uber sebenarnya tidak akan menjadi masalah apabila mitra mereka seperti Perusahaan rental mobil,koperasi dan perorangan mengacu kepada aturan hukum yang berlaku tentang angkutan umum. Sebab ketika kendaraan "plat hitam" berubah fungsi menjadi angkutan penumpang umum,maka regulasi yang berlaku adalah UU no.22 tahun 2009. 

Apakah benar GRAB & UBER hanya perusahaan penyedia jasa aplikasi online taksi...? Itu juga menjadi pertanyaan yang patut dijawab oleh pihak perusahaan tersebut secara jujur. Sebab pada kenyataannya,mereka mengatur manajemen dan aturan tarif per KM yang ditarik oleh para sopir Grab/Uber sehingga bisa lebih murah dari angkutan umum yang mengikuti regulasi yang berlaku. Di dunia bisnis manapun,penyedia jasa aplikasi online tidak pernah terlibat dalam urusan manajemen dan penentuan 'harga jual" produk/jasa yang dijual oleh "vendor" atau mitra kerjanya. Artinya,Grab/Uber memang bukan sekedar perusahaan penyedia jasa aplikasi online,tetapi mereka memang berbisnis angkutan umum...!

Oleh karena itu,Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dengan latar belakang karier dan pendidikannya yang luar biasa, mencium aroma "siasat bisnis" yang dimainkan oleh Grab/Uber masuk ke Indonesia. Mereka boleh saja bersiasat, tetapi sang Menteri Perhubungan Republik Indonesia tersebut mempunyai "jam terbang" karier di bidang manajemen bisnis yang juga mumpuni dengan kredibilitas yang sangat baik. Apa yang dilakukan oleh Ignasius Jonan sudah tepat, yaitu melarang Grab/Uber mengoperasikan bisnis angkutan umum sebelum memenuhi dan mengikuti aturan regulasi yang ada. Apapun siasat bisnis yang dimainkan oleh Grab/Uber dan para mitranya, Ignasius Jonan tetap berpendirian bahwa bisnis angkutan umum harus mengikuti regulasi yang berlaku. Inilah sikap yang patut diteladani,sebab sang Menteri tidak mau disebut sebagai pelanggar Undang-Undang no.22 tahun 2009.

Seseorang atau perusahaan yang mengambil inisiatif masuk ke kategori bisnis yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang harus mengikuti regulasi yang berlaku atas kategori bisnis yang dimasuki. Perihal bisnis model yang dijalankan oleh perusahaan/perorangan/badan usaha lainnya, itu adalah kreatifitas masing-masing. Pemerintah hanya mengatur dan menjadi eksekutor regulasi atas kategori bisnis yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang,bukan mengatur bisnis model yang dibuat dan sebagai bagian strategi perusahaan/badan usaha yang masuk di kategori bisnis tersebut.

Banyak penyedia jasa aplikasi bisnis online di Indonesia, seperti Elevenia, Blibli, Lazada,dan lain sebagainya yang masuk kategori e-Commerce yang bergerak dalam bisnis jual-beli atau jasa dari mulai Business to Business (B2B), Business to Consumer (B2C),dll ; Namun para vendor atau mitra kerja mereka dari berbagai kategori bisnis/industri dan jasa tidak diatur manajemen serta penentuan harga jualnya oleh pihak penyedia jasa aplikasi bisnis online tersebut. Para vendor atau mitra kerja itulah yang sekarang menjadi sorotan Pemerintah, dalam hal ini kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak; Karena mereka memperoleh penghasilan yang luar biasa dan potensial menggelapkan pajak yang diatur oleh Pemerintah. 

Para pebisnis yang masuk dalam model bisnis online, baik sebagai vendor atau mitra kerja dari kategori bisnis e-Commerce tidak diatur oleh Menkominfo, tetapi diatur oleh kementerian yang mempunyai kepentingan terhadap pebisnis tersebut. Pebisnis tersebut memang menyiasati masalah-masalah bisnis konvensional yang harus menyediakan tempat dll ; Tetapi mereka tidak bisa lari dari regulasi,bahwa setiap Warga Negara Indonesia yang mempunyai usaha atau berpenghasilan harus mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan membayar pajak,membuat laporan SPT,dsb. Kalau mereka bisa lolos dari kejaran pajak,tentu saja pebisnis konvensional yang secara jelas terlihat nyata (bukan virtual) pun akan meradang seperti para sopir yang demo tersebut ; Kesetaraan dalam peraturan itulah yang menjadi pegangan semua pihak untuk bersaing secara sehat. Jangan satu dikejar-kejar aturan,sedangkan yang lain melenggang-kangkung lolos dari aturan atau regulasi yang berlaku. 

Oleh karena itu, pemerintah sebagai eksekutor regulasi harus dapat bermain cantik untuk tidak membiarkan pebisnis yang bersiasat untuk ngemplang pajak dan tidak mengikuti aturan yang berlaku di Republik ini. Di Amerika Serikat,walau semua warga negara-nya mempunyai "Single Identity Number" (=SIN) yang multi fungsi, masih saja ada yang berani tidak bayar pajak ; Namun SIN akan menjadi alat yang paling efektif dalam perdagangan e-Commerce untuk melacak siapa vendor/mitra kerja yang berpenghasilan dan ngemplang pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun